Korea Selatan telah menyetujui kesepakatan pembelian 40 unit pesawat
tempur F-35 Joint Strike Fighter dari Lockheed Martin senilai USD 7,1
miliar (sekitar Rp 84,8 triliun).
Komite Eksekutif Program Akuisisi Pertahanan Korea Selatan yang diketuai oleh Menteri Pertahanan Nasional Han Min-goo telah menyetujui penandatanganan surat penawaran dan penerimaan tersebut saat pertemuan di Seoul pada Rabu, 24 September 2014.
Menurut Letnan Jenderal Chris Bogdan, Program Executive Officer untuk Kantor Program F-35 Lightning II, pengiriman F-35A - varian lepas landas dan mendarat konvensional (CTOL), sama seperti yang digunakan Angkatan Udara AS - akan dimulai pada tahun 2018.
"Korea (Selatan) menjadi pelanggan penjualan asing ketiga (F-35) setelah Israel dan Jepang, selain delapan negara mitra kami dalam program ini," tambah Bogdan. "Ini adalah hari yang baik untuk program F-35 dan kami berharap dapat memenuhi keinginan Pemerintah Korea (Selatan) untuk menjalankan program F-35 nya."
Menurut Defense Acquisition Program Administration (DAPA), F-35A telah sesuai dengan persyaratan program pengadaan pesawat tempur FX-III Korea Selatan dan akan secara signifikan meningkatkan kemampuan tempur Angkatan Udara Korea Selatan (ROKAF) khususnya meningkatkan kemampuan untuk menyerang sasaran strategis nuklir di Korea Utara terkait konflik di Semenanjung Korea.
Sebelumnya Seoul berencana untuk membeli 60 F-35A untuk menggantikan pesawat era 70-an yaitu McDonnell Douglas F-4E phantom II dan F-5. Taksiran awal untuk 60 F-35A adalah sekitar USD 10,8 miliar, namun akhirnya Pemerintah Korea Selatan hanya menyutujui 40 unit. DAPA sendiri telah mengumumkan bahwa mereka telah memilih F-35A dan telah memulai negosiasi dengan pemerintah Amerika Serikat untuk membelinya melalui jalur penjualan asing.
Kebakaran mesin F-35 pada bulan Juni lalu dan kekhawatiran akan membengkaknya biaya dan waktu produksi yang molor tidak menyurutkan niat Seoul untuk membeli pesawat ini.
Tahun lalu, Korea Selatan menolak tawaran Boeing untuk memasok 60 unit pesawat tempur F-15 Silent Eagle senilai USD 7,7 miliar dengan alasan harga dan tidak memiliki fitur siluman dan kurang efektif dalam mengatasi ancaman nuklir Korea Utara yang terus meningkat. Selain itu juga ada penawaran pesawat tempur Eurofighter Typhoon, namun Korea Selatan juga menolak karena alasan yang sama.
Komite Eksekutif Program Akuisisi Pertahanan Korea Selatan yang diketuai oleh Menteri Pertahanan Nasional Han Min-goo telah menyetujui penandatanganan surat penawaran dan penerimaan tersebut saat pertemuan di Seoul pada Rabu, 24 September 2014.
Menurut Letnan Jenderal Chris Bogdan, Program Executive Officer untuk Kantor Program F-35 Lightning II, pengiriman F-35A - varian lepas landas dan mendarat konvensional (CTOL), sama seperti yang digunakan Angkatan Udara AS - akan dimulai pada tahun 2018.
"Korea (Selatan) menjadi pelanggan penjualan asing ketiga (F-35) setelah Israel dan Jepang, selain delapan negara mitra kami dalam program ini," tambah Bogdan. "Ini adalah hari yang baik untuk program F-35 dan kami berharap dapat memenuhi keinginan Pemerintah Korea (Selatan) untuk menjalankan program F-35 nya."
Menurut Defense Acquisition Program Administration (DAPA), F-35A telah sesuai dengan persyaratan program pengadaan pesawat tempur FX-III Korea Selatan dan akan secara signifikan meningkatkan kemampuan tempur Angkatan Udara Korea Selatan (ROKAF) khususnya meningkatkan kemampuan untuk menyerang sasaran strategis nuklir di Korea Utara terkait konflik di Semenanjung Korea.
Sebelumnya Seoul berencana untuk membeli 60 F-35A untuk menggantikan pesawat era 70-an yaitu McDonnell Douglas F-4E phantom II dan F-5. Taksiran awal untuk 60 F-35A adalah sekitar USD 10,8 miliar, namun akhirnya Pemerintah Korea Selatan hanya menyutujui 40 unit. DAPA sendiri telah mengumumkan bahwa mereka telah memilih F-35A dan telah memulai negosiasi dengan pemerintah Amerika Serikat untuk membelinya melalui jalur penjualan asing.
Kebakaran mesin F-35 pada bulan Juni lalu dan kekhawatiran akan membengkaknya biaya dan waktu produksi yang molor tidak menyurutkan niat Seoul untuk membeli pesawat ini.
Tahun lalu, Korea Selatan menolak tawaran Boeing untuk memasok 60 unit pesawat tempur F-15 Silent Eagle senilai USD 7,7 miliar dengan alasan harga dan tidak memiliki fitur siluman dan kurang efektif dalam mengatasi ancaman nuklir Korea Utara yang terus meningkat. Selain itu juga ada penawaran pesawat tempur Eurofighter Typhoon, namun Korea Selatan juga menolak karena alasan yang sama.
Laman New York Times melaporkan bahwa pembelian F-35A ini juga mencakup
transfer teknologi dari Lockheed Martin untuk program pengembangan
pesawat tempur canggih Korea Selatan yang disebut dengan KFX, dimana
disini Indonesia juga menjadi partner pengembangan.
Dalam program KFX, Korea Selatan berharap dapat membangun pesawat tempur
yang mirip dengan F-16 Fighting Falcon Lockheed Martin, namun dengan
mesin ganda, peningkatan kekuatan tempur, peningkatan radar dan
kemungkinan fitur siluman. Rencananya Korea Selatan akan memproduksi 120
unit pesawat tempur ini untuk ROKAF mulai tahun 2025. Selain itu,
dengan KFX Korea Selatan juga berharap dapat menjadi eksportir pesawat
tempur canggih bagi negara-negara yang tidak mampu membeli F-35 karena
alasan biaya atau lainnya, menurut New York Times. (IHS Jane, New York
Times, F-35, ABC News).
http://www.artileri.org
Tidak ada komentar:
Posting Komentar