Dari kiri ke kanan: KSAL Laksamana TNI Soeparno, KSAD Jenderal TNI Pramono Edhie Wibowo, Wamenhan Sjafrie Samsoeddin dan Sekjen Kemhan Eris Herryanto saat rapat kerja dengan Komisi I DPR di Senayan, Jakarta, Senin (26/3). FOTO ANTARA/Andika Wahyu
JAKARTA - Pemerintah melalui Kementerian Pertahanan (Kemhan) membantah telah terjadi mark up dalam rencana pembelian enam unit pesawat tempur dari Rusia, Sukhoi seri SU 30MK2.
Dalam rapat kerja dengan Komisi I DPR, Senin (26/3), Sekjen Kemhan Marsdya Eris Herryanto menjelaskan, pengadaan pembelian pesawat Sukhoi ini terdiri dari tiga tahap yaitu tahap pertama terdiri dari pengadaan pada tahun 2003-2004 sebanyak empat unit, tahap kedua sebanyak enam Sukhoi tahun 2007, dan tahap ketiga sebanyak enam Sukhoi pada tahun 2011-2012.
"Sekilas pengadaan Sukhoi pada tahap kedua, pembayarannya dengan commercial credit tidak menggunakan state credit. Pada 14 Mei 2007, di lingkungan pemerintah dilakukan rapat antara Kemhan, Menkeu, Bappenas, Mabes TNI dan angkatan serta delegasi dari Rusia untuk membahas pengadaan alutsista dari Rusia dengan state credit. Namun tidak dicantumkan hal itu untuk membeli Sukhoi. Sehingga sampai saat ini pembelian Sukhoi tidak menggunakan state credit, tapi menggunakan commercial credit," ujarnya.
Eris mengatakan, dalam pembelian Sukhoi tahap kedua meski menggunakan commercial credit, saat itu Kemenkeu sudah berhubungan dengan sejumlah penerbangan swasta dan nasional untuk turut membiaya pembelian Sukhoi ini. "Jadi pembelian pesawat Sukhoi kedua juga dibiayai konsorsium bank-bank dalam negeri," ujarnya.
Kemudian pada tahap pembelian Sukhoi tahap ketiga, kata Eris, anggaran untuk pengadaan enam Sukhoi tahun 2010-2014 dengan menggunakan fasilitas kredit ekspor untuk TNI AU sebesar 470 juta dolar AS.
Kronologi Pengadaan Sukhoi
"Proses pengadaan Sukhoi dimulai dari awal dengan pengecekan oleh pihak TNI AU dan pengecekan. Pada saat itu yang diajukan adalah Rosoboronexport di Moskow yang juga mempunyai perwakilan di Jakarta (PT Trimarga Rekatama)," ungkap Eris.
Lebih lanjut Eris mengatakan, pada 25 November 2011, sidang Tim Evaluasi Pengadaan (TEP) diberhentikan karena dua hal. Pertama masih terdapat spesifikasi teknis yang akan disuplai Rosoboronexport tidak sesuai dengan kebutuhan TNI AU. Kedua, masih terdapat perbedaan penawaran harga cukup tinggi saat itu.
Saat itu, Rosoboronexport menawarkan satu pesawat Sukhoi yang nantinya akan diserahkan pada tahun 2012 satu pesawat Sukhoi nilainya 55,980 juta dolar AS. Sedangkan yang akan diserahkan pada 2013 harganya 59 juta dolar AS.
"Menurut kami, hal ini tidak lazim dilakukan bagi penyedia jasa. Bahwa kebutuhan alutsista mempunyai nilai yang berbeda pada saat delivery. Sehingga dari dua alasan tersebut kita menghentikan sidang TEP untuk memberikan waktu pada Rosoboronexport untuk meng-adjust harga dan menyampaikan spek pesawat yang diinginkan TNI AU," ujarnya.
Kemudian, kepada pihak Rosoboronexport sudah disampaikan bahwa pemberian harga dalam hal ini tidak terlalu mahal. "Kemudian kami meminta staf khusus Kemhan bidang ekonomi untuk menilai layak tidaknya eskalasi harga yang ditawarkan tersebut, dengan termasuk melihat eskalasi ekonomi di Rusia, harga-harga material dan sebagainya. Alasan perubahan harga ini terkait perkembangan inflasi," ujarnya.
Namun, dalam kunjungan ke Rusia terakhir, akhirnya pihak Rosoboronexport menurunkan harganya menjadi 54,800 juta dolar AS. "Dan, harga itu sama dengan harga pembelian untuk tahun 2013. Dari harga terakhir itu, karena kita membeli enam unit maka total harganya menjadi 328,800 juta dolar AS."
Dari alokasi dana untuk pembelian Sukhoi sebesar 470 juta dolar AS, sisa dari alokasi anggaran itu antara lain digunakan membeli 12 unit engine AL 31 F, spart dan tools.
http://alutsista.blogspot.com/2012/03/kementrian-pertahanan-jelaskan.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar