Melanjutkan tulisan sebelumnya, agar optimal mengawasi wilayah perbatasan, dan guna mendukung gelar pasukan secara cepat, efektif dan efisien, tentu diperlukan peralatan penunjang yang handal bagi sebuah negara kepulauan. Salah satu yang dianggap penting adalah satuan pesawat terbang amfibi, dengan kemampuan amfibi, sebuah pesawat dapat tinggal landas di daerah kepulauan terpencil, baik di darat maupun di air.
Selain itu, TNI harus memiliki armada pesawat pengintai yang memadai. Saat ini baik TNI AL dan TNI AU diketahui sudah memiliki beberapa unit pesawat pengintai modern, seperti CN-235 MPA dan Boeing 737 Surveillance Maritime Patrol. Pesawat yang dioperasikan Skadron 5 TNI AU ini dilengkapi peralatan SLAMMR (Side Looking Airborne Multi Mission Radar), suatu alat sensor dengan daya deteksi yang sangat kuat pada suatu daerah yang sangat luas. Dengan SLAMMR, Boing-737 ini mampu mendeteksi wilayah perairan seluas 85.000 mil persegi per jam. Di tambah lagi peralatan navigasi Internal Navigation System dan Omega Navigation System serta peralatan komunikasi modern.
TNI AL pun punya armada pesawat pengintai dalam satuan Penerbal (Penerbangan Angkatan Laut), dimana saat ini mengandalkan N22/N24 Nomad Search Master dan Casa-212 MPA. Malah dimasa lalu, yakni pada tahun 1959, Penerbal pernah memiliki armada pesawat intai AKS (Anti Kapal Selam) jensi Fairey Gannet. Sebagai pesawat AKS, Gannet dibekali dua unit torpedo untuk menghancur kapal selam. Sayang, saat ini TNI AL tak memiliki lagi pesawat intai laut bersenjata.
Kuantitas Terbatas
Ada lagi kendala yang dihadapi terkait pesawat pengintai, dimana jumlah yang dimiliki TNI masih sangat minim. Bayangkan armada pesawat intai Boeing 737 MPA milik TNI AU hanya 3 unit, itupun dibangun dengan platform Boein 737 – 200 yang sudah tua. Begitu pun dengan armada pesawat intai CN-235 MPA TNI AU, saat ini baru diserahkan 1 unit dari 3 yang dipesan Departemen Pertahanan. Untuk satuan intai maritim TNI AL, kini masih mengandalkan 26 unit pesawat N22/N24 Nomad, sebuah pesawat yang di negeri asalnya (Australia) sudah di grounded .
Kiprah Pesawat Amfibi
Semasa era Hindia Belanda, kepulauan terdepan Nusantara dijangkau dengan pelbagai sarana transportasi, seperti pelayaran terjadwal kapal-kapal uap Koninklijke Paketvaart Maatschappij hingga pesawat-pesawat amfibi yang bisa mendarat di air.
Satuan pesawat amfibi milik Militaire Luchtvaart (Dinas Penerbangan Militer) dan Angkatan Laut Hindia Belanda (Koninklijke Marine) menjangkau pulau-pulau terluar, seperti Kepulauan Mentawai di pesisir barat Pulau Sumatera.
David Mondey dalam buku Axis Aircraft of World War II menulis, Kerajaan Belanda secara khusus memesan pesawat Dornier Do 24 dari Jerman. Sebagian pesawat dibuat berdasarkan lisensi di De Schelde. Schelde merupakan kawasan industri dan galangan kapal yang hingga kini memasok sebagian kebutuhan Angkatan Laut Republik Indonesia.
Dornier 24 mengusung tiga mesin dan didesain untuk dioperasikan di Hindia Belanda pada tahun 1935. Dornier 24 menggantikan peran pesawat amfibi Dornier Wals. Semula dipesan 48 unit pesawat Do 24. Sebanyak 25 pesawat diserahkan kepada Kerajaan Belanda dan dikirim ke Nusantara. Perang Dunia II keburu pecah di Eropa, Belanda pun diduduki Jerman. Sebanyak 11 Dornier 24 yang sedang dibangun di Schelde itu pun disita pihak Nazi.
Legenda Catalina
Selain Do 24, semasa penjajahan hingga tahun 1980-an turut dioperasikan pula pesawat amfibi legendaris buatan Amerika Serikat, yaitu Consolidated PBY Catalina. David Mondey dalam buku American Aircraft of World War II mencatat, PBY Catalina adalah pesawat amfibi dengan populasi terbanyak di dunia. Diperkirakan lebih dari 4.000 unit Catalina dibuat di sejumlah negara.
Catalina memiliki jasa besar dalam Perang Pasifik. Catalina bersama Dornier 24 menjalankan peran penting sebagai pesawat intai, evakuasi, dan menurunkan bantuan. Tercatat Catalina beroperasi di danau di sekitar Pangalengan dan Situ Bagendit di Jawa Barat menjelang jatuhnya Pulau Jawa.
Steve McCormack dalam buku You Will Die in Singapore menulis betapa dia dan para pelarian dari pertempuran Singapura yang terapung-apung di Selat Malaka diselamatkan pesawat amfibi Hindia Belanda. Pesawat-pesawat amfibi digunakan untuk mengevakuasi warga dari pelbagai tempat.
Setelah era kemerdekaan, TNI AU mengoperasikan Catalina hingga tahun 1980-an, pesawat amfibi ini bernaung di bawah Skuadron Udara Intai 5 di Malang. Pesawat yang digunakan adalah PBY Catalina dan Grumman Albatros. Sayang, sekarang sudah tidak ada lagi pesawat amfibi dioperasikan TNI AU dan TNI AL.
Pengamat penerbangan Dudi Sudibyo pada akhir bulan Oktober 2010 mengatakan, keberadaan pesawat amfibi merupakan salah satu sarana penting untuk menjangkau kepulauan terluar di Indonesia. ”Pesawat amfibi memiliki peran penting dalam tanggap darurat,” kata Dudi (Kompas.com – 11/11/2010).
Salah satu contoh adalah penanganan kebakaran hutan di pedalaman Kalimantan Timur tahun 1997. ”Waktu itu disewa pesawat amfibi water bomber Beriev 200 buatan Rusia. Pesawat itu juga memiliki bucket untuk mengangkut air Sungai Mahakam atau dari danau yang ditumpahkan ke sumber api,” kata Dudi.
Pesawat sejenis yang populer di dunia saat ini adalah Bombardier CL-142 buatan Kanada. Jepang juga memiliki pesawat sejenis, yakni Shinmewa yang merupakan turunan dari tipe pesawat amfibi yang mereka gunakan semasa Perang Dunia II, Kawanishi. Pesawat amfibi, ujar Dudi, dapat digunakan untuk mengedrop tenaga bantuan, logistik, hingga evakuasi medis secara cepat.
Solusi Reaksi Cepat
Kita belajar berulang kali terjadi bencana di daerah terpencil dan penanganan lambat karena ketiadaan sarana transportasi yang memadai. Pesawat amfibi merupakan salah satu solusi tanggap bencana dalam waktu dekat. Pesawat amfibi dalam situasi normal dapat digunakan untuk angkutan penumpang dan barang di tempat-tempat terpencil. Di bidang militer pun, keberadaan pesawat amfibi bisa mempunyai peran strategis, gelar pasukan, terutama pasukan elit dapat lebih cepat menuju ke titik sasaran di pulau terluar. (Haryo Adjie Nogo Seno)
http://indomiliter.com/2013/01/07/pesawat-amfibi-dalam-gelar-kekuatan-militer-di-perbatasan/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar