Masih
soal banjir Jakarta. Banyak yang sering mengatakan soal tataruang dan
penegakan aturan yang ada menjadi sebuah kambing paling item kalau
menghadapi kesemrawutan Jakarta. Hmmm … Aturan sih memang bisa saja
ditegakkan. Tetapi aturan yang benar haruslah didasari dengan riset dan
penelitian ilmiah yang bener juga. Skali lagi harus didasari dengan
penelitian dasar ilmiah. Penelitian ini juga mestinya menyeluruh,
walaupun belum detail tetapi penelitian ilmiah harus menyeluruh.
Benarkan membuat serapan akan menambah daya serap air permukaan,
seberapa besar dampaknya terhadap air permukaan ? Berapa koefisien
bangunannya ? Pertanyaan ini hanya bisa dijawab dng riset, bukan dengan
aturan.
Gambar diatas merupakan studi dari ahli Higrogeologi, Atika, dengan sebuah simulasi membuat Jakarta Utara sebagai hutan.
Dari hasil riset yang dilakukan oleh ahli hidrologi yang tulisannya dapat dibaca disini : Mekanisme Banjir jakarta. Menyebutkan fakta bahwa penghijauan seluruh permukaan Jakarta utara menjadi hutan sekalipun tidak berdampak banyak terhadap pengurangan debit air limpasan. Artinya memang daya dukung tanah alami Jakarta memang tidak cukup !
Seorang kawan (psst kakak saya upst ) yang bekerja Bappeda DIY, Ronny Primantohari yang kebetulan pernah sekolah di Enschede, Belanda, dia crita tentang “original design” Jakarta. Yang cukup ngagetin adalah ternyata Jakarta (Batavia) ini awalnya didesign oleh Belanda hanya untuk menampung SATU JUTA JIWA SAJA ! BLAIK !!
Angka penduduk tahun 1960 saja sebenarnya sudah mencapai 1,2 juta jiwa. Artinya target sudah terpenuhi pada tahun 1960. Lantas dengan jumlah penduduk Jakarta saat ini yang sudah mencapai belasan juta mau dikemanain itu yang belasan juta jiwa, ya ?
Sudah pasti mengatur Jakarta tidak bisa hanya dengan aturan yang dibuat DPRD dan Pemdanya saja. Setiap aturan harus didasari dengan penelitian ilmiah detail dan terbuka ! Mengapa terbuka ? Ya, selain menjadi sebuah wacana masyarakatnya juga akan timbul peer review diantara ilmuwan-ilmuwan planologi.
Namun jelas angka jumlah penduduk yang mungkin ditambahkan oleh konstruksi rekayasa (engineering), tetap tidak akan mampu.
Salah satu kemungkinan yang paling pas rasanya kok masih harus memindahkanIbukota pemerintahan ya ? Paling tidak Jonggol sebagai alternatif masih valid. Dari segi biaya dan juga bayaran politiknya tidak terlalu “mahal”.
http://rovicky.wordpress.com/2008/02/04/jakarta-satu-juta/
Gambar diatas merupakan studi dari ahli Higrogeologi, Atika, dengan sebuah simulasi membuat Jakarta Utara sebagai hutan.
Dari hasil riset yang dilakukan oleh ahli hidrologi yang tulisannya dapat dibaca disini : Mekanisme Banjir jakarta. Menyebutkan fakta bahwa penghijauan seluruh permukaan Jakarta utara menjadi hutan sekalipun tidak berdampak banyak terhadap pengurangan debit air limpasan. Artinya memang daya dukung tanah alami Jakarta memang tidak cukup !
Seorang kawan (psst kakak saya upst ) yang bekerja Bappeda DIY, Ronny Primantohari yang kebetulan pernah sekolah di Enschede, Belanda, dia crita tentang “original design” Jakarta. Yang cukup ngagetin adalah ternyata Jakarta (Batavia) ini awalnya didesign oleh Belanda hanya untuk menampung SATU JUTA JIWA SAJA ! BLAIK !!
Angka penduduk tahun 1960 saja sebenarnya sudah mencapai 1,2 juta jiwa. Artinya target sudah terpenuhi pada tahun 1960. Lantas dengan jumlah penduduk Jakarta saat ini yang sudah mencapai belasan juta mau dikemanain itu yang belasan juta jiwa, ya ?
Sudah pasti mengatur Jakarta tidak bisa hanya dengan aturan yang dibuat DPRD dan Pemdanya saja. Setiap aturan harus didasari dengan penelitian ilmiah detail dan terbuka ! Mengapa terbuka ? Ya, selain menjadi sebuah wacana masyarakatnya juga akan timbul peer review diantara ilmuwan-ilmuwan planologi.
“Whadduh ! kalau Jakarta hanya nampung sejuta saja yang belasan juta dikemakan Pakdhe ?”Selain dengan aturan yang didasari dengan penelitian ilmiah, tentusaja rekayasa. Ya tentusaja mirip dengan pemanfaatan dataran banjir di sepanjang Bengawan Solo di dongengan sebelumnya. Rekayasa yang didukung dengan penelitian dasar akan sangat mungkin meningkatkan daya dukung Jakarta dari sejuta menjadi beberapa juta tambahannya.
“Itulah Thole, kalau pusat pemerintahan tidak dipindahkan, maka proses pemerintahan di Indonesia pasti terganggu”
Namun jelas angka jumlah penduduk yang mungkin ditambahkan oleh konstruksi rekayasa (engineering), tetap tidak akan mampu.
Salah satu kemungkinan yang paling pas rasanya kok masih harus memindahkanIbukota pemerintahan ya ? Paling tidak Jonggol sebagai alternatif masih valid. Dari segi biaya dan juga bayaran politiknya tidak terlalu “mahal”.
http://rovicky.wordpress.com/2008/02/04/jakarta-satu-juta/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar