Ada tema
tersembunyi di balik bocoran Edward Snowden, yang belum banyak disorot
media massa. Snowden, yang mantan kontraktor National Security Agency
(NSA), menginformasikan adanya Program Intelijen Satetroom adanya
peralatan untuk penyadapan radio, telekomunikasi dan lalu-lintas
internet yang disimpan oleh Kedutaan Besar Amerika Serikat, Australia,
Inggris dan Kanada. Snowden menyebut beberapa kota di ASEAN sebagai pos
diplomatik keempat negara tersebut. Yaitu Jakarta, Bangkok, Hanoi, Kuala
Lumpur, dan Beijing.
Momentum Indonesia-Malaysia Galang Kerjasama Strategis di Asia Tenggara
Ini satu
fakta menarik karena Indonesia, Vietnam, Malaysia dan Thailand
seharusnya dalam pandangan Amerika merupakan negara sekutu, kecuali
tentunya Cina yang memang sejak masa pemerintahan George W Bush pada
2002, telah dicanangkan sebagai musuh utama Amerika bersama-sama dengan
Rusia.
Bagi
Amerika, yang dalam setiap operasi intelijennya selalu harus selaras
dengan skema dan kebijakan strategis keamanan nasional Gedung Putih,
maka dalam semua kegiatan spionasenya di berbagai negara, harus
mencerminkan skala prioritas yang digariskan Washington. Dengan
demikian, keputusan untuk menetapkan suatu negara sebagai obyek
penyadapan, berarti telah menetapkan negara bersangkutan sebagai musuh,
atau minimal musuh potensial.
Maka dari
itu, fakta bahwa Malaysia termasuk salah satu negara yang ditetapkan
oleh Washington dan sekutu-sekutunya sebagai obyek penyadapan, sungguh
mengagetkan mengingat selama ini Malaysia merupakan negara yang
dipandang bersekutu dengan Inggris dan Jepang. Meskipun pada era
pemerintahan Mahathir Mohamad, Malaysia sepertinya terkesan kurang
harmonis dengan Amerika. Namun mengingat kenyataan bahwa kebijakan
Mahathir Mohamad Look to the East sejatinya didasari gagasan untuk
bersekutu dengan Jepang dalam menjalin kerjasama strategis bidang
ekonomi-perdagangan, maka secara teknis Malaysia pada dasarnya tetap
dalam pengaruh dan kendali skema kapitalisme global AS.
Hingga kini,
kerjasama strategis bidang militer dan keamanan yang terjalin antara
Amerika dan Jepang tetap berada dalam orbit pengaruh Amerika yang telah
dirintis sejak Pasca Perang Dunia II. Karena itu sungguh mengagetkan
ketika dalam dokumen NSA bocoran Snowden yang disiarkan oleh harian
Australia Sidney Morning Herald, digambarkan bahwa Australia telah
mengizinkan program rahasia NSA beroperasi di beberapa kedutaan besar
Australia yang ada di Indonesia, Malaysia, Vietnam, Thailand, Timor
Timur dan Cina. Dengan kata lain, Australia mengizinkan fasilitas
penyadapan disimpan di beberapa kedutaan besar Australia di
negara-negara tersebut di atas.
Masuk akal
jika Pemerintah Malaysia terkejut sehingga pada 1 November 2013, Menteri
Luar Negeri Malaysia Anifah Aman meminta penjelasan kepada pihak
Amerika atas dugaan kegiatan spionase negaranya di Kuala Lumpur. Meski
pihak Amerika kemudia mencoba menetralisirnya dengan mengatakan bahwa
semua aktivitas spionasenya di seluruh dunia semata bertujuan untuk
keamanan, namun rasa-rasanya kerusakan sudah terjadi.
Pertanyaan
paling fundamental adalah, mengapa Malaysia ditetapkan sebagai musuh
potensial Amerika sehingga jadi sasaran penyadapan?
Dihadapkan Pilihan antara ke India atau Cina
Shankaran
Nambiar, ekonom dan konsultan ekonomi Malaysia menulis, saat ini
Malaysia sedang dihadapkan pada pilihan: Berkiblat ke India atau Cina.
Dalam artikelnya terbitan 28 Agustus 2012 berjudul Malaysia: choosing
between China and India?, menggambarkan politik luar negeri Malaysia di
era Najib Tun Razak saat ini tidak punya sikap yang jelas seperti ketika
di era Pemerintahan Mahathir Mohamad.
Mahathir
yang waktu itu menerapkan kebijakan Look to the East, sejatinya telah
menetapkan kebijakan luar negeri yang berkiblat pada Jepang melalui
kerjasama strategis bidang ekonomi-perdagangan. Sedangkan era
Pemerintahan Najib sekarang, tidak jelas. Kalau diibaratkan menurut
Shankaran Nambiar, ibarat menaruh beberapa telor di keranjang yang
berbeda-beda (Placing a few eggs in as many baskets as there exist).
Kebijakan
Look to the East ala Mahathir waktu itu, meski secara tersurat Malaysia
bermusuhan dengan Amerika, namun karena kebijakan tersebut mendasari
kedekatan hubungan antara Malaysia dan Jepang, maka negara Jiran
tersebut tetap saja dalam orbit pengaruh AS dan Inggris.
Namun
menurut analisis Shankaran Nambiar, saat terjadi persaingan tajam antara
AS versus Cina di kawaasan Asia Tenggara saat ini, Malaysia di bawah
pemerintahan Najib Tun Razak didorong untuk memilih berkiblat ke Cina
atau ke India. Karena kedua negara Asia tersebut, saat ini telah muncul
sebagai raksasa baru di kawasan Asia Tenggara.
Terbukti
bahwa beberapa waktu berselang, Perdana Menteri Najib telah berkunjung
ke Cina maupun India. Inilah yang kemudian menjadi dasar kritik
Shankaran Nambiar bahwa orientasi politik luar negeri Malaysia saat ini
jadi tidak fokus. Sehingga kecenderungannya untuk dekat baik kepada
India maupun Cina, pada perkembangannya Malaysia justru tidak akan
mendapat apa-apa baik dari Cina maupun India.
Mengingat
kenyataan bahwa sumberdaya alam Malaysia maupun nilai strategis
geopolitik Malaysia tidak besar seperti Indonesia, maka permainan dua
kaki ala Malaysia tersebut menurut saya sama sekali tidak ada
manfaatnya.
Bagi
Malaysia nampaknya merupakan pilihan yang sulit. Jika berkiblat kepada
Cina, Malaysia akan menghadapi resistensi dari Jepang yang saat ini
merupakan seteru Cina di kawasan Asia Pasifik, menyusul semakin
menajamnya persaingan global antara AS versus Cina di kawasan Asia
Pasifik, dan Asia Tenggara pada umumnya.
Padahal di
era Look to the East Policy-nya Mahathir Mohamad dulu, Malaysia sangat
diuntungkan melalui kerjasama bidang otomotif dengan Jepang.
Sedangkan
jika mendekat kepada India, yang menurut beberapa observasi, merupakan
raksasa baru yang pertumbuhan ekonominya cukup menjanjikan sehingga
dirasa cukup bisa diandalkan sebagai mitra oleh AS, Korea Selatan, dan
Singapura. Sehingga menurut beberapa observasi di dalam negeri Malaysia,
meski India saat ini menghadapi berbagai kendala akibat tidak
memadainya infrastruktur, birokrasi yang sangat tidak professional,
maupun demokrasi yang tidak stabil, namun banyak yang menilai jika
Malaysia berkiblat ke Cina dan mengabaikan India, dalam jangka panjan
merugikan Malaysia.
Terlepas
pilihan antara berkiblat ke India atau ke Cina merupakan dilemma bagi
pemerintahan Najib Tun Razak, namun hal ini mengindikasikan adanya
masalah krusia terkait penentuan haluan politik luar negeri Malaysia ke
depan.
Hal ini saya
kira menjelaskan mengapa kemudian Malaysia, setidaknya sejak 2009,
berdasarkan bocoran Snowden, telah ditetapkan oleh Malaysia sebagai
musuh potensial. Setidaknya hal ini bisa dibaca sebagai indikasi bahwa
AS dan sekutu-sekutunya merasa khawatir terhadap potensi Malaysia untuk
menjalin persekutuan strategis dengan Cina di bidang ekonomi, politik
dan pertahanan-keamanan.
Indonesia-Malaysia Merintis Kerjasama ala BRICS di Asia Tenggara?
Kenyataan
bahwa Indonesia pada KTT G-20 di London pada 2009 juga jadi sasaran
penyadapan, mengindikasikan bahwa ada kekhawatiran bahwa Indonesia
berpotensi untuk melakukan kontra skema menghadapi dominasi global
Amerika dan negara-negara Uni Eropa minus Rusia. Dan tentunya
derivasinya juga terjadi pada forum KTT APEC yang memang khusus jadi
blok ekonomi 24 negara di kawasan Asia Pasifik.
Kalau
Indonesia saja di KTT G-20, yang tentunya juga di KTT APEC, menjadi
negara sasaran penyadapan, maka Malaysia pun mengalami hal yang sama.
Baik di forum G-20 maupun APEC, Amerika dan Uni Eropa sebenarnya menaruh
kekhawatiran bahwa negara-negara ASEAN seperti Indonesia dan Malaysia,
kemudian berkiblat kepada Cina dan Rusia dalam sebuah aliansi strategis
bidang ekonomi dan perdagangan.
AS dan Uni
Eropa cukup beralasan untuk khawatir, karena sejak 2001, Cina dan Rusia
telah menjalin aliansi strategis di Asia Tengah melalui payung Shanghai
Cooperation Organzation (SCO). Yang pada perkembangannya kemudian
menginspirasi Brazil, India, Rusia, Cina dan Afrika Selatan, untuk
membentuk blok ekonomi-perdagangan lintas kawasan (BRICS).
Karenanya,
cukup masuk akal jika terbongkarnya bocoran penyadapan terhadap beberapa
negara sekutu AS di Asia Tenggara seperti terhadap Malaysia, Vietnam
dan Thailand, merupakan momentum untuk meninjau ulang haluan politik
luar negeri negara-negara yang jadi obyek sadapan AS tersebut.
Khusus untuk
Malaysia, yang saat ini sedang dihadapkan pada dilema untuk memilih
berkiblat pada India atau Cina, saya kira alangkah strategisnya jika
Indonesia dan Malaysia menjadikan ini sebagai momentum untuk membangun
kerjasama strategis baru dalam kerangka mengimbangi pengaruh AS dan Uni
Eropa di ASEAN.
Tidak ada
salahnya bagi Indonesia dan Malaysia, atau bahkan dengan Vietnam, untuk
mempertimbangkan kemungkinan memotori terbentuknya sebuah aliansi
strategis di kawasan Asia Tenggara dengan merujuk pada SKEMA SCO dan
BRICS.
Merujuk pada
doktrin politik luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif, dan dengan
menginspirasi prakarsa yang dilakukan Bung Karno ketika menggalang
kerjasama negara-negara Asia-Afrika melalui Konferensi Asia Afrika (KAA)
di Bandung, maupun Konferensi Gerakan Non Blok di Beograd pada 1961,
berkiblat pada salah satu kutub yang sedang bersaing sah-sah saja.
Sepanjang didasari pertimbangan untuk memperkuat kepentingan nasionalnya
seraya menjadikan dirinya sebagai kekuatan tersendiri yang
diperhitungkan oleh kedua kutub yang sedang bersaing. (GFI)
http://militaryanalysisonline.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar