Pesawat udara
nir-awak (puna) Wulung sukses menjalani uji coba di Pangkalan Udara
Halim Perdanakusumah, Jakarta, Kamis 11 Oktober 2012. Pesawat yang
dikembangkan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) itu
berhasil unjuk kemampuan di langit Halim.
Bahkan,
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kepincut dengan karya anak bangsa itu.
SBY yang baru mendarat di Halim--setelah melawat ke
Yogyakarta--menyempatkan diri melihat aksi Wulung. "Saya senang,
sampaikan selamat kepada yang membuat, peneliti, dan yang mendesain
ini," kata SBY saat berbincang dengan peneliti BPPT.
Saking
senangnya, SBY yang hanya singgah sekitar sepuluh menit berjanji akan
memperhatikan pengembangan pesawat tanpa awak buatan dalam negeri itu.
"Masih ada dana pengembangannya? Nanti saya on top-kan pengembangannya,"
ujar SBY.
Rasa bangga
juga ditunjukkan Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro. Usai uji coba
itu, Purnomo menggelar jumpa pers. Dia mengatakan, pesawat ini akan
terus dikembangkan, dan diupayakan oleh produsen dalam negeri, misalnya
PT Dirgantara Indonesia. Sehingga, memajukan industri pertahanan dalam
negeri. "Sesuai amanat UU Industri Pertahanan," kata dia.
Selain untuk
keperluan sipil, wahana itu juga akan digunakan untuk kepentingan
militer Indonesia. Dalam pengembangan selanjutnya, pesawat ini kelak
dipersenjatai. Sehingga, bisa dikirim ke medan perang jika dibutuhkan.
"Bahkan fungsinya dapat menggantikan pesawat tempur yang disebut dengan
Unmaned Combat Aerial Vehicle," kata Purnomo.
Purnomo
berharap, pengembangan puna disesuaikan dengan kebutuhan TNI Angkatan
Udara. Sebab, dia menginginkan puna ini diproyeksikan ke dalam skuadron
TNI AU. "Untuk sementara ini skuadron yang akan kita bangun memang untuk
pengintaian atau pengamatan wilayah (surveillance)," ujarnya.
Kritik
Tak semua puas
dengan Puna Wulung ini. Kritik justru datang dari Menteri Riset dan
Teknologi, Gusti Muhammad Hatta. Menurut dia, suara pesawat Wulung itu
terlalu bising. "Seharusnya pesawat nir awak tidak mengeluarkan suara.
Bisa-bisa ditembak musuh kalau pesawat nir awak kita suaranya seperti
itu," kata Gusti dalam keterangan tertulisnya.
Untuk itu, dia
berharap BPPT dan Kementerian Pertahanan bisa lebih baik lagi
mengembangkan pesawat itu jika memang ditujukan sebagai alat utama
sistem persenjataan (alutsista) TNI.
"Awalnya,
pesawat tanpa awak memang diprioritaskan untuk keperluan sipil seperti
memantau wilayah di Indonesia. Namun dalam perkembangannya, pesawat
tersebut bisa dijadikan sebagai alat utama sistem persenjataan TNI.
Untuk itu pesawat ini harus canggih. Saya yakin BPPT bisa membuatnya,"
Menristek menambahkan.
Selain suara,
Menristek juga mengkritik bahan dasar badan pesawat yang terbuat dari
serat fiber. Ia berharap bisa diganti dengan bahan dasar lain yang lebih
kuat. "Layaknya pesawat intai tanpa awak milik negara lain," ujarnya.
Di balik
kritiknya itu, Gusti mengaku tetap bangga dan siap mempromosikan pesawat
tanpa awak tersebut, tahun depan. “Dan saya berharap teknologi untuk
pesawat intai tadi tidak menggunakan teknologi dari negara lain,”
tambahnya.
Lima puna
Wulung bukan
satu-satunya puna yang dikembangkan BPPT. Sejak 2002, BPPT telah membuat
lima puna. Selain Wulung, BPPT telah membuat Puna Sriti, Puna
Alap-alap, Puna Gagak, dan Puna Pelatuk. BPPT mengembangkan puna itu
mulai 2002. Biaya yang dikeluarkan untuk membuat lima pesawat ini
sekitar Rp 6 miliar hingga Rp 8 miliar.
Puna Sriti.
Difungsikan untuk pengintaian. Puna Sriti bisa melihat ke depan sejauh
60-75 kilometer. Rentang sayapnya 2,988 meter. Memiliki bobot 8,5
kilogram. Kecepatan jelajahnya mencapai 30 knot. Endurance atau
kemampuan terbangnya mencapai 1 jam. Sriti bisa terbang sejauh 5 mil
dengan ketinggian maksimal 3.000 kaki.
Puna Alap-alap.
Difungsikan untuk pengintai. Rentang sayapnya 3,51 meter. Beratnya 18
kilogram. Kecepatan jelajah mencapai 55 knot. Mampu terbang selama 5 jam
dengan jangkauan 140 kilometer. Ketinggian maksimumnya 7.000 kaki.
Pesawat ini dilengkapi dengan kamera video.
Puna Gagak.
Memiliki rentang sayap 6,916 meter. Beratnya 120 kilogram. Kecepatan
jelajahnya 52-69 knot. mampu terbang selama 4 jam dengan jangkauan
maksimal 73 kilometer. Sedangkan ketinggian terbang maksimum mencapai
8.000 kaki. Pesawat dilengkapi kamera video.
Puna Pelatuk.
Memiliki rentang sayap 6,916 meter. Berat 120 kilogram. Kecepatan
jelajahnya mencapai 52 hingga 69 knot. Bisa terbang selama 4 jam dengan
jangkauan maksimal 73 kilometer. Pesawat ini bisa terbang dengan
ketinggian maksimum 8.000 kaki. Pesawat dilengkapi kamera video.
Puna Wulung.
Terbuat dari bahan komposit Rentang sayapnya mencapai 6,360 meter.
Panjang badan mencapai 4,32 meter, dan tingginya 11,32 meter. Berat 120
kilogram. Puna Wulung bermesin 2 tak. Untuk mendapatkan tenaga yang
optimal, bahan bakar yang dipilih adalah jenis pertamax.
Wulung mampu
terbang selama 4 jam tanpa henti. Jarak tempuh maksimalnya 70 kilometer,
dengan kecepatan jelajah 52 hingga 69 knot. Pesawat bisa dikendalikan
dengan jarak 73 kilometer dari remote control. Puna Wulung mampu terbang
hingga ketinggian 12 ribu kaki. Namun, hingga sat iniyang sudah diuji
baru pada ketinggian 8 ribu kaki.
ASEAN berlomba
Negara-negara
di Asia Tenggara (ASEAN) memang lagi getol memperkuat armada militernya.
Mulai dengan senjata ringan hingga berat. Pesawat udara tanpa awak
menjadi salah satu yang gencar dikembangkan oleh sejumlah negara di
kawasan ASEAN.
Malaysia
misalnya. Negeri jiran ini mengembangkan pesawat udara tanpa awaknya
melalui Unmanned Systems Technology (UST), yang didirikan pada 2007.
Tugasnya, khusus untuk menarik segala sumber daya untuk mengembangkan
pesawat udara tanpa awak.
Malaysia telah
menemukan momentumnya. Melalui UST, Malaysia berhasil mengembangkan
pesawat udara tanpa awak dan sukses mengembangkan produksi dalam
negerinya, baik untuk kepentingan sipil maupun militer. Bahkan, Malaysia
saat ini telah menawarkan beberapa produk pesawat tanpa awak
produksinya.
Produk yang
telah ditelorkan oleh UST antara lain pesawat tanpa awak bersayap dan
berbaling-baling menyerupai helikopter. Pesawat yang bersayap antara
lain Aludra, Aludra SR-08, dan Aludra SR-12. Sedangkan yang menyerupai
helikopter adalah Intisar 300 dan Intisar 400.
Produk utama
yang dihasilkan UTS adalah Aludra. Pesawat ini memiliki berat 200
kilogram. Muatan maksimal yang bisa diangkut seberat 25 kilogram.
Struktur bahan terbuat dari kaca, serat karbon, busa, dan epoxy. Pesawat
ini memiliki panjang 14 kaki, rentang sayap 20 kaki. Aludra mampu
melaju dengan kecepatan 220 kilometer per jam dengan durasi 3 jam.
Malaysia juga
terkenal maju dalam bidang pembuatan pesawat tanpa awak ini. Sebab,
mereka telah menjalin kerja sama dengan berbagai negara untuk
mengembangkan teknologi ini, seperti Australia.
Berikutnya
adalah Singapura. Wilayah negara boleh kecil. Penduduknya juga sedikit.
Namun, Singapura tak mau kalah memperkuat armada pesawat tanpa awaknya.
Pertengahan tahun ini, negara di Selat Malaka ini telah membeli satu
skuadron pesawat tanpa awak dari Israel, Heron 1. Singapura harus
mengeluarkan US$ 6 juta untuk satu unit Heron.
Heron 1
memiliki lebar sayap 16,6 meter, berat 1,2 ton, dan mampu membawa 250
kilogram beban. Pesawat ini mampu terbang selama 50 jam (tergantung
beban yang dibawa).
Kecepatan
jelajahnya sampai 100 kilometer per jam. mampu terbang setinggi 10
kilometer (32.000 kaki). Heron dapat dilengkapi dengan kamera yang bisa
untuk melihat pada siang-malam atau radar pencarian angkatan laut.
Kemampuan Pesawat ini mirip dengan pesawat Predator milik Amerika
Serikat.
Armada ini
didatangkan untuk menggantikan 40 pesawat udara tanpa awak Searcher yang
telah digunakan selama satu dekade. Singapura juga telah memarkir 60
lebih pesawat tanpa awak Scout. Dalam segi ukuran, berat, dan kinerja,
jenis Scout masih di bawah Searcher.
Singapura juga
melibatkan National University of Singapura (NUS) untuk mengembangkan
pesawat tanpa awak GremLion. Pesawat tanpa awak ini didesain mirip
dengan helikopter dan mampu mengemban tugas khusus.
Vietnam tak mau
kalah. Awal 2012 ini, negara yang pernah dilanda perang saudara pada 18
tahun ini menjalin kerja sama dengan Rusia untuk mengembangkan pesawat
tanpa awak. Vietnam merogoh anggaran sebesar US$10 juta untuk program
alih teknologi ini. Rusia-Vietnam akan membuat pesawat tanpa awak versi
kecil Irkut 200. Berat pesawat yang dibuat ini mencapai 100 kilogram.
Sementara itu,
negara-negara lain juga sama. Thailand mengembangkan The Aerostar.
Thailan juga dikabarkan membeli sejumlah pesawat tanpa awak dari Israel.
Langkah yang sama juga dilakukan Filipina.(np)
http://militaryanalysisonline.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar