Kamis, 11 Juli 2013

Mengenal Pembatal-pembatal Puasa.

110658842_89c33a2270_o Apa saja yang termasuk pembatal puasa? Semoga pembahasan ini bermanfaat.


[PERTAMA]

Makan dan Minum dengan Sengaja
Allah Ta’ala berfirman,
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ
Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” (QS. Al Baqarah [2] : 187)
Dari ayat ini berarti puasa adalah menahan diri dari makan dan minum. Jika orang yang berpuasa makan dan minum, batal-lah puasanya. Ini dikhususkan jika makan dan minum dilakukan secara sengaja. Jika orang yang berpuasa lupa, keliru, atau dipaksa, puasanya tidaklah batal.
Dalam Shohih Bukhari dibawakan Bab ‘Apabila seseorang yang berpuasa makan dan minum dalam keadaan lupa’.
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا نَسِىَ فَأَكَلَ وَشَرِبَ فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ ، فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اللَّهُ وَسَقَاهُ
Apabila seseorang makan dan minum dalam keadaan lupa, hendaklah dia tetap menyempurnakan puasanya karena Allah telah memberi dia makan dan minum.” (HR. Bukhari no. 1933)
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
إِنَّ اللَّهَ وَضَعَ عَنْ أُمَّتِى الْخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ
Sesungguhnya Allah menghilangkan dari umatku dosa karena keliru, lupa, atau dipaksa.” (HR. Ibnu Majah no. 2045. Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan Ibnu Majah mengatakan bahwa hadits ini shohih)
Catatan : Yang juga termasuk makan dan minum adalah injeksi makanan melalui infus. Jika seseorang diinfus dalam keadaan puasa, batal-lah puasanya karena injeksi semacam ini dihukumi sama dengan makan dan minum. (Lihat Shifat Shoum An Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, hal. 72, Dar Ibnu Hazm)

[KEDUA]

Muntah dengan Sengaja
Dalam Sunan Abu Daud dibawakan Bab “Orang yang berpuasa dan muntah dengan sengaja.”
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ ذَرَعَهُ قَىْءٌ وَهُوَ صَائِمٌ فَلَيْسَ عَلَيْهِ قَضَاءٌ وَإِنِ اسْتَقَاءَ فَلْيَقْضِ
Barangsiapa yang dipaksa muntah sedangkan dia dalam keadaan puasa, maka tidak ada qodho’ bagi orang tersebut. Namun, apabila dia muntah (dengan sengaja), maka wajib baginya membayar qodho’.” (HR. Abu Daud no. 2380. Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abi Daud mengatakan bahwa hadits ini shohih. Hadits ini juga diriwayatkan oleh At Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad)

[KETIGA]

Haidh dan Nifas
Apabila seorang wanita mengalami haidh atau nifas di tengah-tengah berpuasa baik di awal atau akhir hari puasa, maka dia wajib membatalkan puasanya. Apabila dia tetap berpuasa, puasanya tidaklah sah.
Dalam Shohih Bukhari dibawakan Bab “Wanita Haidh Meninggalkan Puasanya.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda ketika berkhutbah Idul Fitri atau Idul Adha di hadapan para wanita,
أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ » . قُلْنَ بَلَى . قَالَ « فَذَلِكَ مِنْ نُقْصَانِ دِينِهَا »
Bukankah kalau wanita tersebut haidh, dia tidak shalat dan juga tidak menunaikan puasa?” Para wanita menjawab, “Betul.” Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Itulah kekurangan agama wanita.” (HR. Bukhari no. 304)
Wanita yang mendapatkan haidh ketika puasa wajib mengqodho’ puasanya.
An Nawawi dalam Shohih Muslim membawakan Bab “Wajibnya Mengqodho’ Puasa bagi  Wanita Haidh sedangkan Shalat Tidak Perlu Diqodho’ “.
Dari Mu’adzah, beliau berkata, “Aku bertanya kepada ‘Aisyah,
مَا بَالُ الْحَائِضِ تَقْضِى الصَّوْمَ وَلاَ تَقْضِى الصَّلاَةَ
Mengapa wanita haidh harus mengqodho’ puasa dan tidak mengqodho’ shalat?
‘Aisyah lantas berkata,
أَحَرُورِيَّةٌ أَنْتِ
Apakah engkau seorang Haruriy (Khowarij)?
Lantas aku berkata,
لَسْتُ بِحَرُورِيَّةٍ وَلَكِنِّى أَسْأَلُ.
Aku bukanlah seorang Haruriy. Aku hanya sekedar bertanya.
Lalu ‘Aisyah menjawab,
كَانَ يُصِيبُنَا ذَلِكَ فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلاَ نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلاَةِ.
Dulu kami mengalami haidh. Kami diperintahkan untuk mengqodho’ puasa dan kami tidak diperintahkan mengqodho shalat.” (HR. Bukhari no. 321 dan Muslim no. 335)  

[KEEMPAT]

Jima’ (Bersetubuh) di Siang Hari
Seseorang yang melakukan jima’ di siang hari bulan Ramadhan maka dia harus mengqodho’ puasanya dan wajib baginya membayar kafaroh. Dalil mengenai hal ini dibawakan oleh Bukhari dalam kitab shohihnya pada Bab ‘Apabila seseorang bersetubuh di bulan Ramadhan dan dia tidak memiliki sesuatu pun, maka dia diberi sedekah untuk kafarohnya.’
An Nawawi juga membawakan judul Bab dalam Shohih Muslim : ‘Pengharaman jima’ yang keras di siang hari bulan Ramadhan bagi orang yang berpuasa, wajibnya membayar kafaroh yang cukup berat di dalamnya dan penjelasannya. Kafaroh ini wajib bagi orang yang lapang ataupun sempit. Kewajiban ini tetap ada sampai orang yang kesulitan tersebut mampu menunaikan kafarohnya.
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Suatu hari kami duduk-duduk di dekat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian datanglah seorang pria menghadap beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu pria tersebut mengatakan,
يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلَكْتُ
Wahai Rasulullah, celaka aku.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,
مَا لَكَ
Apa yang terjadi padamu?”
Pria tadi lantas menjawab,
وَقَعْتُ عَلَى امْرَأَتِى وَأَنَا صَائِمٌ
Aku telah menyetubuhi istri, padahal aku sedang puasa.
Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya,
هَلْ تَجِدُ رَقَبَةً تُعْتِقُهَا
Apakah engkau memiliki seorang budak yang dapat engkau merdekakan?
Pria tadi menjawab, “Tidak”.
Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi,
فَهَلْ تَسْتَطِيعُ أَنْ تَصُومَ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ
Apakah engkau mampu berpuasa dua bulan berturut-turut?
Pria tadi menjawab, “Tidak”.
Lantas beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi,
فَهَلْ تَجِدُ إِطْعَامَ سِتِّينَ مِسْكِينًا
Apakah engkau dapat memberi makan kepada 60 orang miskin?
Pria tadi juga menjawab, “Tidak”.
Abu Hurairah berkata,
فَمَكَثَ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - ، فَبَيْنَا نَحْنُ عَلَى ذَلِكَ أُتِىَ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - بِعَرَقٍ فِيهَا تَمْرٌ - وَالْعَرَقُ الْمِكْتَلُ -
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas diam. Tatkala kami dalam kondisi demikian, ada yang memberi hadiah satu wadah kurma kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,
أَيْنَ السَّائِلُ
Di mana orang yang bertanya tadi?
Pria tersebut lantas menjawab, “Ya, aku.”
Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,
خُذْهَا فَتَصَدَّقْ بِهِ
Ambillah dan bersedakahlah dengannya.”
Kemudian pria tadi mengatakan,
أَعَلَى أَفْقَرَ مِنِّى يَا رَسُولَ اللَّهِ فَوَاللَّهِ مَا بَيْنَ لاَبَتَيْهَا - يُرِيدُ الْحَرَّتَيْنِ - أَهْلُ بَيْتٍ أَفْقَرُ مِنْ أَهْلِ بَيْتِى
Apakah akan aku berikan kepada orang yang lebih miskin dariku, wahai Rasulullah? Demi Allah, tidak ada yang lebih miskin di ujung timur hingga ujung barat kota Madinah dari keluargaku. ” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu tertawa sampai terlihat gigi taringnya. Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,
أَطْعِمْهُ أَهْلَكَ
Berilah makanan tersebut pada keluargamu.” (HR. Bukhari no. 1936 dan Muslim no. 1111)
Dari hadits di atas ada beberapa hal yang bisa disimpulkan.
[1] Orang yang menyetubuhi istrinya padahal dia dalam keadaan berpuasa, maka puasanya batal.
[2] Orang tersebut harus mengqodho’ puasanya di luar Ramadhan. Berdasarkan riwayat lain dalam Shohih Bukhari pada Bab ‘Apabila seseorang bersetubuh di (siang hari) bulan Ramadhan’ :
Disebutkan dari Abu Hurairah dan beliau mengatakan bahwa hadits ini adalah perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
« مَنْ أَفْطَرَ يَوْمًا مِنْ رَمَضَانَ ، مِنْ غَيْرِ عُذْرٍ وَلاَ مَرَضٍ لَمْ يَقْضِهِ صِيَامُ الدَّهْرِ ، وَإِنْ صَامَهُ »
Barangsiapa membatalkan puasa (dengan sengaja) pada suatu hari di bulan Ramadhan tanpa ada udzur (alasan) dan sakit, maka walaupun dia berpuasa sepanjang tahun, hal itu tidak akan mencukupkannya.
[Namun, hadits ini dho’if sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Al Albani dalam Dho’if At Targib wa At Tarhib no. 605]
Tentang hal ini, Ibnu Mas’ud, Sa’id bin Al Musayyib, Asy Sya’bi, Ibnu Jubair, Ibrahim, Qotadah dan Hammad mengatakan,
يَقْضِى يَوْمًا مَكَانَهُ
Orang tersebut wajib mengqodho pada hari yang lain sebagai penggantinya.” (HR. Bukhari no. 29)

[3] Selain mengqodho, orang tersebut harus membayar kafaroh yaitu:
a)      Membebaskan seorang budak mukmin yang bebas dari cacat.
b)      Jika tidak mampu, berpuasa dua bulan berturut-turut.
c)       Jika tidak mampu, memberi makan kepada 60 orang miskin. Setiap orang miskin mendapatkan satu mud makanan. (Lihat Syarh An Nawawi ‘ala Muslim, 4/97, Asy Syamilah)

[4] Jika seseorang tidak mampu melaksanakan kafaroh di atas, kafaroh tersebut tidaklah gugur, namun tetap wajib baginya sampai dia mampu. Hal ini diqiyaskan (dianalogikan) dengan bentuk utang-piutang dan hak-hak yang lain.
Adapun hadits di atas tidaklah menafikan adanya kafaroh. Bahkan dalam hadits tersebut menunjukkan masih tetap ada kewajiban kafaroh bagi laki-laki tersebut. Dalam hadits tersebut, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya memberitakan bahwa orang tersebut tidak dapat memenuhi ketiga bentuk kafaroh di atas. Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapat hadiah kurma dan memerintahkan kepada orang tadi untuk menggunakannya sebagai kafaroh. Seandainya kafaroh tersebut gugur karena tidak mampu, maka tentu saja orang tadi tidak memiliki kewajiban apa-apa dan tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan untuk bersedekah dengan kurma tersebut. Hal ini menunjukkan tentang masih adanya kewajiban kafaroh bagi orang tersebut. –Inilah yang dikatakan oleh An Nawawi dalam Syarh Muslim, 4/97-. Pendapat inilah yang dipilih oleh An Nawawi sebagaimana judul bab yang beliau bawakan dalam Shohih Muslim.

[5] Menurut madzhab Syafi’i dan salah satu pendapat dari Imam Ahmad, wanita yang diajak bersetubuh di bulan Ramadhan tidak punya kewajiban kafaroh sama sekali, yang menanggung kafarohnya adalah suaminya. Alasannya yaitu :
a)      Dalam hadits di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintah wanita yang bersetubuh di siang hari untuk membayar kafaroh sebagaimana suaminya. Hal ini menunjukkan bahwa seandainya wanita memiliki kewajiban kafaroh, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentu akan mewajibkannya dan tidak diam.
b)      Kafaroh adalah hak harta. Oleh karena itu, kafaroh dibebankan pada laki-laki sebagaimana mahar. (Lihat Shohih Fiqih Sunnah, 2/108)

Penjelasan Al Faqih Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin Mengenai Pembatal Puasa
[Pembahasan berikut disarikan dari penjelasan beliau rahimahullah dalam Majmu’ Fatawa dan Rosa’il Ibnu ‘Utsaimin, 17/143, Asy Syamilah]
Inilah empat macam pembatal puasa yang apabila dilakukan seorang muslim di siang hari bulan Ramadhan tanpa ada udzur maka dia akan mendapat empat perkara :
1.       Dosa
2.       Puasanya batal
3.       Wajib menahan diri dari makan dan minum di sisa harinya
4.       Wajib mengqodho’ puasa
Adapun jika puasanya batal karena jima’ (bersetubuh) di siang hari bulan Ramadhan, maka diwajibkan baginya membayar kafaroh. Akan tetapi wajib diketahui bahwa pembatal-pembatal ini tidaklah membatalkan puasa hingga terpenuhi tiga syarat :

[Syarat Pertama] Berilmu
Apabila seorang yang berpuasa melakukan salah satu pembatal di atas karena tidak tahu (jahil), baik jahil terhadap waktu atau hukum maka puasa tetap sah.
Misal jahil terhadap waktu : Seseorang bangun di akhir malam dan dia menyangka fajar belum terbit, kemudian dia makan dan minum. Namun ternyata fajar telah terbit dan dia baru mengetahuinya, maka puasa orang ini sah karena dia jahil terhadap waktu.
Misal jahil terhadap hukum : sebagaimana terdapat dalam As Sunnah dari hadits Asma’ binti Abu Bakr radhiyallahu ‘anhuma yang diriwayatkan oleh Bukhari dalam shohihnya Asma’ berkata,
أَفْطَرْنَا عَلَى عَهْدِ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - يَوْمَ غَيْمٍ ، ثُمَّ طَلَعَتِ الشَّمْسُ
Kami pernah berbuka di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari yang mendung lalu tiba-tiba muncul matahari.
Para sahabat berbuka pada siang hari, akan tetapi mereka tidak mengetahui. Mereka menyangka bahwa matahari telah tenggelam. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintah mereka untuk mengqodho’. Seandainya qodho’ tersebut wajib, tentu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam akan memerintah mereka untuk mengqodho’. Seandainya beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintah mereka, tentu akan dinukil berita tersebut kepada kita. Seandainya kita berbuka dan menyangka matahari telah tenggelam padahal kenyataannya matahari belum tenggelam, maka wajib bagi kita menahan diri hingga matahari tenggelam dan puasa kita tetap sah.

[Syarat Kedua] Dalam Keadaan Ingat, Tidak Lupa
Seandainya seseorang yang berpuasa lupa ketika makan atau minum, maka puasanya tetap sah. Berdasarkan firman Allah Ta’ala,
رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِنَا رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلَانَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ
Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri ma'aflah kami, ampunilah kami, dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir.” (QS. Al Baqarah [2] : 286)

[Syarat Ketiga] Berdasarkan Keingingan Sendiri Bukan Dipaksa
Seandainya seorang yang berpuasa melakukan salah satu pembatal di atas bukan atas kehendak atau pilihannya sendiri, maka puasanya tetap sah. Seandainya seseorang berkumur-kumur kemudian air masuk ke dalam perut tanpa kehendaknya, maka puasanya tetap sah.
Seandainya seorang pria memaksa istrinya untuk berjima’ (di siang hari bulan Ramadhan) dan dia tidak mampu menolak paksaan suaminya, maka puasa wanita tersebut sah karena itu bukan berdasarkan kehendaknya sendiri. Dalil dari hal ini adalah firman Allah Ta’ala,
مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ وَلَكِنْ مَنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِنَ اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa). Akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar.” (QS. An Nahl [16] : 106)
Semoga Allah selalu memberikan kita petunjuk, ketakwaan, dimudahkan menjauhi yang haram dan diberikan rasa kecukupan.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.

Referensi Utama :
Shifat Shoum An Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam fi Ramadhon, Salim bin ‘Ied Al Hilaliy dan ‘Ali bin ‘Ali Abdul Hamid, Maktabah Al Islamiyah dan Dar Ibnu Hazm
Shohih Fiqih Sunnah, Abu Malik Kamal bin As Sayid Salim, Jilid 2, Al Maktabah At Taufiqiyah
Referensi lainnya adalah referensi tambahan.

***
Selesai disusun setelah waktu zawal di Panggang, Gunung Kidul
22 Sya’ban 1429 H [bertepatan dengan 24 Agustus 2008]
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal


 http://rumaysho.com/hukum-islam/puasa/2656-mengenal-pembatal-pembatal-puasa.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar