Pengunjung memilih batu akik yang saat ini sedang booming di Jakarta
Gems Center, Rawa Bening, Jatinegara, Jakarta, Kamis (15/1/2015). Lebih
dari 1.000 pedagang batu akik menawarkan dagangannya di tempat tersebut
dengan harga mulai dari puluhan ribu rupiah hingga ratusan juta rupiah.
Batu bacan yang berasal dari Ternate, Maluku Utara, saat ini banyak
dicari para pencinta batu akik.
MELIHAT-lihat butik batu mulia di Kolombo, Sri Lanka, akhir Maret lalu,
Kompas
jadi teringat dengan demam batu akik yang tengah melanda Indonesia.
Namun, ada perbedaan antara dunia batu mulia di Sri Lanka dan di Tanah
Air.
Di Sri Lanka, orang mendapatkan batu mulia semata-mata untuk
investasi. Di Indonesia, orang mengumpulkan batu permata bukan hanya
untuk investasi, tetapi juga sebagai pelipur lara—terutama bagi kalangan
masyarakat bawah. Batu mulia dalam bentuk batu akik menjadi sarana
membangun komunikasi dan berpotensi merevitalisasi tradisi dan potensi
masa lalu.
Di Kolombo, batu mulia umumnya dijual di butik-butik,
galeri, dan toko-toko mewah dengan pengamanan ketat. Tempat-tempat itu
umumnya ditandai dengan gardu jaga dan personel pengaman serta pintu
lipat berjeruji, seperti terlihat pada Jumat (20/3/2015) siang. Iklan
batu mulia di beberapa media cetak lokal berbahasa Inggris tampil mewah.
”Harganya 4.000 dollar AS,” kata seorang penjual batu ruby di salah satu butik sambil menunjukkan sebutir ruby seberat 25 karat.
Bagi Sri Lanka, batu mulia memang menjadi salah satu penangguk devisa. Doktor Geologi DH Ariyaratna, dalam bukunya,
Gems of Sri Lanka
(Sri Lanka National Gem and Jewelery Authority, September 2013)
menulis, 5 persen dari total ekspor Sri Lanka berasal dari ekspor
mineral. Dari total ekspor mineral itu, 60 persen di antaranya berasal
dari ekspor batu permata.
Masih menurut buku tersebut, sudah
sejak abad pertama Sri Lanka dikenal sebagai negeri bertabur batu
permata sampai Marcopolo datang pada 1293 dan menamai negeri tersebut
sebagai Zeilan atau sila dalam bahasa Pali, Sanskerta, yang artinya batu
(permata). Nama yang diberikan Marcopolo itu kemudian berubah menjadi
Ceylon.
Marcopolo menulis, hanya di pulau ini ditemukan batu
permata ruby terbaik dan tertinggi nilainya di dunia. Selain ruby, ada
pula safir, topaz, ametis, dan garnet dengan kualitas terbaik pula. Ibnu
Batuta, penjelajah asal Maroko yang datang ke Sri Lanka pada awal abad
ke-14, pun menulis, batu permata bertebaran hampir di seluruh sudut
Serandib, nama lain Sri Lanka.
Ariyaratna menambahkan, ada 20
lokasi dengan banyak batu permata bertaburan di Sri Lanka. Lokasi-lokasi
itu, antara lain, Ratnapura, Hatton, Pelmadulla, Polonaruwa,
Okkampitiva, Matale, Kuruwita, Badulla, dan Monaragala.
Di
Ratnapura pernah ditemukan batu safir biru seberat 850 karat dan safir
2.501 karat di suatu tempat, 18 kilometer di luar Ratnapura. Di Hatton
pernah didapatkan batu aquamarine seberat 7,5 kilogram. Sementara di
Pemadulla pernah didapatkan batu safir biru gelap seberat 250 karat. Di
Kuruwita, pernah didapatkan safir kuning seberat 850 karat.
Sampai
awal tahun 1970-an, hanya ada dua jenis batu permata andalan ekspor Sri
Lanka, yakni ruby dan termasuk safir bintang berwarna hitam. Namun
setelah itu, bermunculan berbagai batu permata dengan tingkat kekerasan
yang sama dengan ruby dan safir, yakni 9 pada skala Mohs.
Menjalin komunikasi
Di
Indonesia, terutama Jakarta, orang mengumpulkan batu mulia bukan semata
demi investasi meski dewasa ini harganya juga makin melejit. ”Kami
memanfaatkan wabah batu akik untuk menjalin komunikasi dengan warga,”
kata anggota Binmas Kepolisian Sektor Metro Palmerah, Jakbar, Ajun
Inspektur Satu Tugianto, Kamis (9/4/2015). Ia menjelaskan, wabah batu
akik yang terjadi setahun belakangan membuat beban kerja Binmas
berkurang.
”Kami bisa dengan mudah berkumpul dengan para pengojek
di pangkalan, warga di pos hansip, atau komunitas batu akik di salah
satu rumah anggota komunitas,” ucapnya. Di sela percakapan tentang batu
akik inilah, Tugianto mengumpulkan informasi, mengimbau, memonitor,
memediasi, dan merangkul warga.
Hal yang sama juga ia lakukan
kala tren sepeda menjadi wabah. ”Tetapi, saat itu rentang rangkulan kami
lebih terbatas. Sebab, pemilik sepeda kebanyakan dari kelas menengah
saja. Kalau pemilik batu akik, kan, sekarang dari kelas atas sampai
kelas bawah,” tuturnya.
Sulaiman (41), tukang ojek, mengatakan,
setelah ia mendapat pekerjaan sambilan membuka lapak batu akik,
pendapatannya bertambah sampai tiga kali lipat. Edy (46), salah satu
warga Kemanggisan, Jakarta Barat, mengatakan, setelah ia mengenal dunia
batu akik sejak enam bulan lalu, ia bisa mengakhiri kebiasaan buruknya
berjudi.
Istrinya pun senang. Sebab, setelah ia menjadi pedagang
khusus batu bacan, Edy yang memiliki 10 unit kos tak lagi memboroskan
uang hasil kontrakan untuk berjudi. Ia justru mendapat penghasilan
tambahan.
Baik Sulaiman maupun Edy mengatakan, relasi
pertemanannya pun meluas tanpa kenal kelas lagi. ”Ya, kalau udah
ngomongin batu akik di lapak saya, enggak ada lagi tuh orang kaya, orang
miskin, orang penting, orang pinggiran. Habis semuanya pada pakai
celana pendek sama kaus doang,” kata Sulaiman sambil tertawa.
Guru
Besar Sosiologi UI Prof Mustofa berpendapat, nilai akik di Indonesia
tak sebatas nilai kebendaan saja, ”Tetapi juga tentang mitos dan
tradisi, sugesti, dan gaya hidup yang oleh Weber (Maximilian Weber,
sosiolog dan ekonom asal Jerman) disebut sebagai rasionalitas
tradisional.”
Istimewanya, dunia batu akik di Indonesia itu
memberikan ruang bermain lebih luas bagi kelas bawah. ”Bagi mereka,
dunia batu akik bisa menjadi pelipur lara dan mainan mengasyikkan.
Gengsi mereka pun dalam pergaulan antarkelas terangkat,” ucap Mustofa.
Sekretaris Jenderal Komunitas Batu Mulia Sujatmiko mengatakan, dampak sosial wabah batu akik di Indonesia positif.
Di
tempat terpisah, psikolog sosial Prof Dr Sarlito Wirawan mengingatkan,
momentum wabah akik ini bisa segera dimanfaatkan memperluas sektor
ekonomi kreatif dan pariwisata. ”Jangan sampai tren batu akik cuma
mengulang tren ikan louhan dan tanaman hias gelombang cinta saja,”
ujarnya.
(WINDORO ADI)
Sumber : http://travel.kompas.com