Tahun 2011 ini terulang lagi. Padahal kita tahu petunjuknya sih sederhana saja cuman begini bunyinya
“Berpuasalah kamu dengan melihat hilal dan berhentilah berpuasa karena melihat hilal”.
Tetapi ternyata buntutnya puanjang …. mengapa bisa terjadi ?
Memang perintah puasa itu menggunakan penanggalan bulan, namun penentuan waktu bebuka dan sholat dengan matahari …. looh lak lucu ya ?
Tapi justru dengan “kelucuan” inilah maka manusia ini diminta untuk berpikir, karena perintah yang sederhana diatas ternyata saat inipun masih memerlukan pemikiran, masih membutuhkan olah pikir.
Bahkan setelah lebih dari 1400 tahun kita masih diliput perbedan itu. Terutama bagi yang mau menguji pemikirannya, kalau mau ngikut saja ya boleh wong ada juga perintahnya kok.
“Taatlah kamu kepada Allah dan Rasulmu dan Pemimpinmu”
Nah aku bukan ahli rukyah, bukan ahli hisab, juga awam dalam sidang isbath penentuan penanggalan ini, tetapi sepertinya ini menarik juga kan, mencoba untuk mengerti mengapa bisa ada perbedaan.
Dibawah ini ada peta (hasil perhitungan) dimana kira-kira hilal akan terlihat :
Gini cara baca peta dibawah ini :
A q> 0,216 mudah terlihat dengan mata telanjang
B -0,014
Nah terlihat kan, kalau pada tanggal 29 Agustus 2011 maka hampir seluruh daerah Indonesia mustahil bisa ngeliat hilal, Bahkan Arabpun tidak mampu melihat … skali lagi ini menurut perhitungan looh …. bukan pengamatan. Sedangkan pada tanggal 30 Agustus 2011 sore hampir semua tempat bisa melihat hilal (berwarna orange).
Nah mengapa Muhammadiyah menggunakan tanggal 30 Agustus 2011 sebagai tanggal 1 Syawal ?
Muhammadiyah menggunakan kriteria Wujudul Hilal. Mnurut Wiki, Wujudul Hilal adalah kriteria penentuan awal bulan (kalender) Hijriyah dengan menggunakan dua prinsip: Ijtimak (konjungsi) telah terjadi sebelum Matahari terbenam (ijtima’ qablal ghurub), dan Bulan terbenam setelah Matahari terbenam (moonset after sunset); maka pada petang hari tersebut dinyatakan sebagai awal bulan (kalender) Hijriyah, tanpa melihat berapapun sudut ketinggian (altitude) Bulan saat Matahari terbenam.
Kriteria ini di Indonesia digunakan oleh Muhammadiyah dan Persis dalam penentuan awal Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha untuk tahun-tahun yang akan datang. Akan tetapi mulai tahun 2000 PERSIS sudah tidak menggunakan kriteria wujudul-hilal lagi, tetapi menggunakan metode Imkanur-rukyat.
Hisab Wujudul Hilal bukan untuk menentukan atau memperkirakan hilal mungkin dilihat atau tidak. Tetapi Hisab Wujudul Hilal dapat dijadikan dasar penetapan awal bulan Hijriyah sekaligus bulan (kalender) baru sudah masuk atau belum, dasar yang digunakan adalah perintah Al-Qur’an pada QS. Yunus: 5, QS. Al Isra’: 12, QS. Al An-am: 96, dan QS. Ar Rahman: 5, serta penafsiran astronomis atas QS. Yasin: 36-40.
Rukyah Global
Ada kriteria lain yaitu Rukyah Global. Kalau anda tengok gambar yg atas ada bagian kecil disebelah selatan-barar (kiri bawah) ada yg berwarna orange, artinya ada bagian bumi yg bisa melihat hilal dengan tanpa alat. Ini yg disebut kriteria ‘hilal global‘. Menurut kriteria ini, dimanapun hilal terlihat dimuka bumi ini semestinya berlaku global. Dan pada tanggal 29 Agustus sudah ada bagian bumi yang dapat melihat hilal dengan mata tanpa alat.
Nah mengapa ada perbedaan ? Ya karena memang posisi geografisnya tidaklah sama. Dan kriterianyapun berbeda. Bahkan peta diatas hanya berlaku untuk daerah 60° Lintang Utara sampai 60° Lintang Selatan. Barangkali, untuk kali ini, Saudi tidak mementingkan rukyah, karena pada tanggal 29 sudah ada daerah dibumi yang dapat menyaksikan hilal.
Kanjeng Nabi-pun pernah mencontohkan, suatu saat ada sekelompok umat yang tempatnya jauh dari posisi Nabi waktu itu menyatakan melihat hilal. Setelah nabi mendengarnya Beliau menyatakan pernyataan itu sudah sah. Kalau saja saat ini kita bisa “mendengar” ada sekelompok kaum yang sudah menyatakan melihat hilal, apakah seluruh dunia bisa “bersama-sama” berlebaran ?
Lebaran bersama-sama, seru juga, Tetapi berbeda jadi nambah variasi.
Disinilah “serunya” (atau rahmat perbedaan itu).
- “Pak Dhe, bisa ikutan makan lontong opor dua kali donk ! …”
+ ” Husst !”
– “Lah iya ta Pak Dhe, tahun 2006 ini kita berlebaran pada tanggal yang sama, yaitu tanggal 1 Syawal 1427 H, kan ?”
+ “Haiyak !”
Pokoke selamat berlebaran bagi yang merayakan, kapanpun anda merayakannya.
http://rovicky.wordpress.com/2011/08/30/kenapa-lebarannya-beda-lagi-ditahun-2011/
“Berpuasalah kamu dengan melihat hilal dan berhentilah berpuasa karena melihat hilal”.
Tetapi ternyata buntutnya puanjang …. mengapa bisa terjadi ?
Memang perintah puasa itu menggunakan penanggalan bulan, namun penentuan waktu bebuka dan sholat dengan matahari …. looh lak lucu ya ?
Tapi justru dengan “kelucuan” inilah maka manusia ini diminta untuk berpikir, karena perintah yang sederhana diatas ternyata saat inipun masih memerlukan pemikiran, masih membutuhkan olah pikir.
Bahkan setelah lebih dari 1400 tahun kita masih diliput perbedan itu. Terutama bagi yang mau menguji pemikirannya, kalau mau ngikut saja ya boleh wong ada juga perintahnya kok.
“Taatlah kamu kepada Allah dan Rasulmu dan Pemimpinmu”
Nah aku bukan ahli rukyah, bukan ahli hisab, juga awam dalam sidang isbath penentuan penanggalan ini, tetapi sepertinya ini menarik juga kan, mencoba untuk mengerti mengapa bisa ada perbedaan.
Dibawah ini ada peta (hasil perhitungan) dimana kira-kira hilal akan terlihat :
Gini cara baca peta dibawah ini :
A q> 0,216 mudah terlihat dengan mata telanjang
B -0,014
C -0,160D -0,232E -0,293F qDibawah ini peta penampakan hilal pada tanggal 29 dan 30 Agustus 2011, sore hari sewaktu matahari tenggelam.
29 August 2011
30 August 2011
Nah terlihat kan, kalau pada tanggal 29 Agustus 2011 maka hampir seluruh daerah Indonesia mustahil bisa ngeliat hilal, Bahkan Arabpun tidak mampu melihat … skali lagi ini menurut perhitungan looh …. bukan pengamatan. Sedangkan pada tanggal 30 Agustus 2011 sore hampir semua tempat bisa melihat hilal (berwarna orange).
Nah mengapa Muhammadiyah menggunakan tanggal 30 Agustus 2011 sebagai tanggal 1 Syawal ?
Muhammadiyah menggunakan kriteria Wujudul Hilal. Mnurut Wiki, Wujudul Hilal adalah kriteria penentuan awal bulan (kalender) Hijriyah dengan menggunakan dua prinsip: Ijtimak (konjungsi) telah terjadi sebelum Matahari terbenam (ijtima’ qablal ghurub), dan Bulan terbenam setelah Matahari terbenam (moonset after sunset); maka pada petang hari tersebut dinyatakan sebagai awal bulan (kalender) Hijriyah, tanpa melihat berapapun sudut ketinggian (altitude) Bulan saat Matahari terbenam.
Kriteria ini di Indonesia digunakan oleh Muhammadiyah dan Persis dalam penentuan awal Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha untuk tahun-tahun yang akan datang. Akan tetapi mulai tahun 2000 PERSIS sudah tidak menggunakan kriteria wujudul-hilal lagi, tetapi menggunakan metode Imkanur-rukyat.
Hisab Wujudul Hilal bukan untuk menentukan atau memperkirakan hilal mungkin dilihat atau tidak. Tetapi Hisab Wujudul Hilal dapat dijadikan dasar penetapan awal bulan Hijriyah sekaligus bulan (kalender) baru sudah masuk atau belum, dasar yang digunakan adalah perintah Al-Qur’an pada QS. Yunus: 5, QS. Al Isra’: 12, QS. Al An-am: 96, dan QS. Ar Rahman: 5, serta penafsiran astronomis atas QS. Yasin: 36-40.
Rukyah Global
Ada kriteria lain yaitu Rukyah Global. Kalau anda tengok gambar yg atas ada bagian kecil disebelah selatan-barar (kiri bawah) ada yg berwarna orange, artinya ada bagian bumi yg bisa melihat hilal dengan tanpa alat. Ini yg disebut kriteria ‘hilal global‘. Menurut kriteria ini, dimanapun hilal terlihat dimuka bumi ini semestinya berlaku global. Dan pada tanggal 29 Agustus sudah ada bagian bumi yang dapat melihat hilal dengan mata tanpa alat.
Nah mengapa ada perbedaan ? Ya karena memang posisi geografisnya tidaklah sama. Dan kriterianyapun berbeda. Bahkan peta diatas hanya berlaku untuk daerah 60° Lintang Utara sampai 60° Lintang Selatan. Barangkali, untuk kali ini, Saudi tidak mementingkan rukyah, karena pada tanggal 29 sudah ada daerah dibumi yang dapat menyaksikan hilal.
Kanjeng Nabi-pun pernah mencontohkan, suatu saat ada sekelompok umat yang tempatnya jauh dari posisi Nabi waktu itu menyatakan melihat hilal. Setelah nabi mendengarnya Beliau menyatakan pernyataan itu sudah sah. Kalau saja saat ini kita bisa “mendengar” ada sekelompok kaum yang sudah menyatakan melihat hilal, apakah seluruh dunia bisa “bersama-sama” berlebaran ?
Lebaran bersama-sama, seru juga, Tetapi berbeda jadi nambah variasi.
Disinilah “serunya” (atau rahmat perbedaan itu).
- “Pak Dhe, bisa ikutan makan lontong opor dua kali donk ! …”
+ ” Husst !”
– “Lah iya ta Pak Dhe, tahun 2006 ini kita berlebaran pada tanggal yang sama, yaitu tanggal 1 Syawal 1427 H, kan ?”
+ “Haiyak !”
Pokoke selamat berlebaran bagi yang merayakan, kapanpun anda merayakannya.
http://rovicky.wordpress.com/2011/08/30/kenapa-lebarannya-beda-lagi-ditahun-2011/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar