Rabu, 18 Juli 2012

Beda Lebaran bukan Persoalan Hisab vs Rukyat


Sejak saat menyiapkan peralatan, komputer, kamera pencitra dan tetek bengek lainnya di lokasi pos observasi Bulan pantai Logending kabupaten Kebumen (Jawa Tengah), pesan demi pesan secara beruntun masuk ke ponsel kami, baik secara literal maupun oral. Pun demikian tatkala proses observasi Bulan sedang berlangsung selama 7 menit selepas pukul 17:42 WIB. Karena lebih berkonsentrasi menyelesaikan proses observasi dan demi menghormati rekan-rekan sesama pengamat yang dengan takzim melaksanakan tugasnya, sebagai tim gabungan yang mewadahi Kementerian Agama dan Badan Hisab Rukyat Daerah dari Kebumen, Banjarnegara, Banyumas, Cilacap dan Purbalingga dengan Kebumen (secara de facto) ditunjuk sebagai koordinator, maka kami memilih mengabaikan sementara pesan demi pesan tersebut. Begitu pula tatkala observasi telah usai, ponsel hanya digunakan untuk mengirim laporan situasi dan hasil observasi ke nomor kontak Kementerian Agama RI di Jakarta, sebagai bahan dalam pelaksanaan sidang itsbat.

Observasi di Logending menyajikan hasil negatif. Ketika diperhitungkan Matahari terbenam pada pukul 17:42 WIB, faktanya Matahari sudah tak terlihat lagi sejak pukul 17:28 WIB akibat tertutupi mendung demikian tebal di cakrawala, yang menutup hampir di semua bagian hingga ketinggian 5 derajat. Situasi ini sudah diduga sebelumnya, sebab meskipun secara teknis kita di Indonesia masih menjalani musim kemarau, atmosfer Asia Tenggara sedang bergolak hebat akibat berkecamuknya badai supertopan Nanmadol di perairan lepas pantai Filipina. Meski pusat badai berada di luar Indonesia, namun aliran angin yang membawa awan menuju pusaran badai menyebabkan sebagian Indonesia mendapatkan tutupan awan dan bahkan hujan.

Namun, andaikata badai ini tak berkecamuk dan langit di lokasi observasi demikian sempurna sehingga tak ada tutupan awan sama sekali, hilaal yang dicari pun bakalan tak terlihat dengan tingkat akurasi lebih dari 75 %. Model matematis prediktif tentang hilaal yang termutakhir, yang diolah dengan memanfaatkan data – data observasi sejak masa Babilonia (2.600 tahun silam), masa pasca Rasulullah SAW hingga sekarang menyimpulkan hal demikian. Tinggi hilaal di Logending diperhitungkan hanya 1,5 derajat dengan jarak sudut (elongasi) terlalu dekat terhadap Matahari, yakni 6,6 derajat, menyebabkan intensitas cahaya hilaal lebih rendah dibanding intensitas cahaya senja (langit dilatarbelakangnya). Hilaal hanya bisa terlihat tatkala intensitas cahayanya melebihi cahaya senja serta lebih besar dibanding ambang batas kontras Blackwell. Jadi ada tiga faktor yang bekerja saling menopang dalam hal terlihat atau tidaknya hilaal, yakni faktor astronomis (posisi Bulan dan Matahari), faktor meteorologis (sifat optis atmosfer Bumi yang menyajikan pemandangan cahaya senja) dan faktor fisiologis (yakni sifat mata manusia dengan ambang batas kontrasnya).

Sayangnya, sangat sedikit (untuk tidak mengatakan tidak ada) komunitas Umat Islam dalam lingkup global yang mendasarkan keputusan penentuan 1 Syawwalnya dengan menggunakan pendekatan ilmu pengetahuan termutakhir seperti tersebut. Mayoritas lebih menyukai konsep hilaal asumtif, yang sepenuhnya hanyalah asumsi (tanpa pernah dibuktikan) dengan dasar-dasar yang terkesan ‘maksa’ dengan landasan yang tidak benar-benar berada dalam ranah astronomis, meteorologis dan fisiologis, namun lebih menyentuh ke filosofis dan bahkan sosiologis. Dan karena antara satu komunitas dengan yang lainnya menggunakan asumsi-asumsi yang berbeda-beda, maka tak pelak perbedaan penentuan 1 Syawwal pun terjadilah.

Usai berbuka puasa dan dalam perjalanan kembali dari pos observasi, barulah ponsel kami buka. Pesan demi pesan tersebut bernada sama : kapan lebarannya? Semuanya juga dijawab dengan nada yang sama : silahkan lihat hasil sidang itsbat yang disiarkan langsung di sejumlah televisi. Sebagai tim observasi, tugas kami di lapangan lebih terfokus kepada proses dan pelapoan hasil observasi sebagai bahan sidang istbat, sementara forum sidang itsbat-lah yang berhak menentukan pengambilan keputusan. Dan tatkala sidang itsbat menetapkan 1 Syawwal 1432 H bagi Indonesia bertepatan dengan Rabu 31 Agustus 2011, ya demikianlah faktanya, karena dari ratusan titik observasi di Indonesia (tidak hanya dari Logending), tak satupun yang melaporkan terlihatnya hilaal. Kecuali dari dua tempat, yakni Cakung (Jakata) dan Jepara (Jawa Tengah), namun keduanya ditolak forum sidang itsbat karena tidak kredibel. Dan karena sudah ada yang menetapkan lebaran pada Selasa 30 Agustus 2011, maka terjadilah perbedaan itu..

1. Situasi langit senja
Konjungsi Bulan dan Matahari atau ijtima’ terjadi pada 29 Agustus 2011 pukul 10:04 WIB secara geosentris, artinya andaikata kita berada di pusat Bumi (bukan di permukaan Bumi seperti seharusnya), maka kita akan melihat Bulan dan Matahari menempati satu garis bujur ekliptika yang sama di langit pada saat itu. Jika dikembalikan kepada konteks al-Qur’an dan al-Hadits, ijtima’ (atau lebih populer sebagai iqtiraan di kawasan Timur Tengah) tidak pernah dijadikan rujukan penentuan awal bulan Hijriyyah, karena yang menentukan adalah hilaal. Riset termutakhir (1996) pun menyajikan dukungan kuat : andaikata konjungsi dijadikan rujukan tunggal dalam kalender Hijriyyah, maka tingkat kesalahannya akan sangat besar, bahkan yang terbesar diantara rujukan-rujukan lainnya. Hanya saja, fakta ini tidak begitu diketahui sehingga sebagian dari kita masih beranggapan bahwa awal bulan Hijriyyah semata didasarkan pada konjungsi, sementara hilaal hanyalah untuk mendeteksi kapan terjadinya konjungsi.

Pada senjakala Senin 29 Agustus 2011, Bulan sudah terbenam lebih lambat dibandingkan Matahari di seluruh wilayah Indonesia tanpa terkecuali. Tinggi Bulan tatkala Matahari terbenam bervariasi, dengan yang terbesar justru ada di pesisir selatan Jawa (yakni sepanjang DIY – Pelabuhan Ratu), bukan di Sabang (Aceh) seperti persepsi kebanyakan kita. Konfigurasi Bulan dan Matahari lah, dengan posisi Bulan ada di sebelah selatan Matahari, yang menyebabkan terjadinya kekhasan tersebut. Namun di seluruh Indonesia pula, model prediktif menyatakan intensitas cahaya hilaal masih lebih rendah dibanding cahaya senja hasil pembiasan atmosfer. Sehingga tidak hanya di Logending, di seluruh Indonesia pun hilaal takkan nampak. Kriteria visibilitas, yakni kriteria yang mengatur syarat batas terlihat tidaknya hilaal, yang valid dan reliabel seperti kriteria Audah (yang berlaku global) atau kriteria RHI (yang kami usulkan) pun menunjukkan situasi serupa. Garis batas visibilitas menurut dua kriteria tersebut melintas di tengah-tengah benua Afrika. Sebagai tambahan, situasi di Saudi Arabia (yang menjadi rujukan sejumlah komunitas dan negara) pun serupa. Bahkan lebih ekstrim lagi, karena negara ini terbelah menjadi dua wilayah dimana salah satunya mengalami kondisi Bulan terbenam lebih dulu dibanding Matahari sementara satunya lagi sebaliknya.

2. Klaim Cakung, Jepara dan Kasus Salah Lihat
Pada saat sidang itsbat, terdapat dua laporan terlihatnya hilaal masing-masing dari Cakung dan Jepara. Dan keduanya sama-sama ditolak sidang. Apa pasal ?

Laporan Cakung berasal dari tim observasi ponpes al-Husiniyah di Cakung (Jakarta timur), salah satu ponpes yang menggeluti ilmu falak secara intens. Saat observasi, Cakung melaporkan telah melihat hilaal pada ketinggian lebih dari 4 derajat sejak pukul 17:40 WIB. Laporan ini ditolak sebab kredibilitasnya sangat meragukan. Pertama, laporan Cakung didasarkan pada perhitungan dengan sistem pendekatan (hisab taqriby) yang disebut hisab Sullam, yang terkenal dengan ketidakakuratannya. Hisab Sullam sendiri sebenarnya hanya menyajikan prediksi waktu terjadinya konjungsi, yang itupun bisa berselisih antara 2 hingga 3 jam terhadap hasil hisab kontemporer yang akurasinya sangat tinggi. Perumus hisab Sullam sendiri sejak awal sebenarnya sudah mewanti-wantikan potensi penyelisihan ini sehingga selalu menekankan agar hasil perhitungan dalam hisab ini untuk dibandingkan dengan fakta lapangan, yakni peristiwa gerhana. Namun untuk alasan yang belum jelas, tim Cakung tidak mengikuti anjuran perumusnya sehingga selalu mengelak untuk mengamati gerhana. Kedua, hilaal dinyatakan terlihat pada pukul 17:40 WIB adalah tidak mungkin, karena Matahari saja baru terbenam di Jakarta pada pukul 17:53 WIB sementara secara konseptual hilaal harusnya terlihat pasca terbenamnya Matahari. Dan yang ketiga, angka tinggi hilaal yang disajikan Cakung sebenarnya bukanlah hasil fakta observasi, melainkan hasil perhitungan semata, dengan cara mencari selisih antara waktu terbenamnya Matahari dengan waktu ijtima’ menurut hisab Sullam untuk kemudian dikalikan 0,5.

Sementara laporan Jepara berasal dari pengamat tunggal di lokasi observasi pantai Kartini Jepara, yang menjadi pos observasi gabungan dari tim Kudus, Demak dan (sebagian) Semarang. Meskipun langit barat di sini relatif lebih cerah (bila dibandingkan dengan Logending), namun terdapat kejanggalan dalam dinamika pelaporan. Dari puluhan pengamat yang melaksanakan tugasnya, hanya satu yang melaporkan hilaal terlihat dengan mata tanpa alat apapun, itupun pelaporan dinyatakan 10 menit pasca ia mengaku melihat. Sehingga disimpulkan bahwa pengamat tunggal tersebut pun merasa ragu dengan yang dilihatnya, karena tidak spontan bersaksi. Sementara perbandingan dengan hasil observasi yang berbasiskan alat bantu justru menyatakan hal sebaliknya. Karena itu tim pengamat gabungan di lokasi tersebut menyatakan laporan itu bohong.

Laporan Cakung dan Jepara hanyalah serpihan kecil dari fakta besar yang jarang kita ketahui, namun sejatinya amat menggelisahkan dunia Islam kontemporer. Yakni terjadinya kasus salah lihat, dimana pengamat keliru mengidentifikasi obyek lain sebagai hilaal. Obyek tersebut bisa berupa obyek latar belakang, yakni benda langit lain yang nampak terang seperti planet Venus, Mars dan Jupiter. Planet Venus menjadi perhatian tersendiri, sebab jika menempati posisi yang sama dengan Bulan dalam observasi hilaal, pengamat yang tak berpengalaman akan sangat mudah terkecoh mengingat intensitas cahaya Venus bisa 200 kali lipat lebih besar dibanding hilaal. Apalagi jika dalam diri pengamat sudah terbentuk persepsi bahwa hilaal adalah titik cahaya mirip bintang yang berkedudukan rendah di atas cakrawala barat, padahal secara konseptual hilaal harusnya berbentuk lengkungan cahaya.

Kasus salah lihat juga bisa terjadi bila mengidentifikasi obyek latar depan yang menampakkan diri sebagai titik cahaya atau lengkungan cahaya. Dalam hal ini lampu mercusuar, lampu menara BTS, lampu kapal dan pantulan sinar Matahari ke awan tertentu khususnya Cumulus/Cumulonimbus. Apa yang menggelisahkan dari kasus salah lihat ini adalah demikian besarnya proporsinya dan seakan menjadi penyakit klasik dunia Islam kontemporer. Di Indonesia saja, analisis terhadap data rukyat periode 1962-1997 dari Kementerian Agama menunjukkan 70 % diantaranya adalah kasus salah lihat. Demikian pula data rukyat Saudi Arabia periode 1961-2004, yang bahkan lebih mengenaskan karena 87 % adalah kasus salah lihat. Pun data rukyat Yordania periode 1954-2007, dimana kasus salah lihat mencapai 92 %. Hanya Algeria yang lebih baik, dimana dalam periode 1963-2000 hanya 17 % yang merupakan kasus salah lihat. Besarnya kasus salah lihat ini memiliki implikasi sangat signifikan, karena dengan demikian sebagian besar awal Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha di negara-negara tersebut (selain Algeria), termasuk yang menjadi rujukan global seperti Saudi Arabia, ditetapkan dalam kondisi ketika hilaal bahkan tidak ada di cakrawala barat.

3. Malaysia, Singapura dan Saudi Arabia: Kasus Salah Lihat (Juga)

Tatkala Indonesia menetapkan 1 Syawwal 1432 H bertepatan dengan Rabu 31 Agustus 2011, maka Malaysia, Singapura dan Saudi Arabia justru menetapkan sebaliknya yakni 1 Syawwal pada Selasa 30 Agustus 2011. Bagi sebagian dari kita, keputusan ini khususnya dari Saudi Arabia, dianggap merupakan justifikasi dan palu penentu yang menyudahi kekisruhan soal kapan lebaran. Jarang sekali yang mencoba menganalisis dan berpandangan sebaliknya, bahwa keputusan di negara-negara tersebut sebenarnya didasarkan atas kasus salah lihat, sehingga menyulitkan untuk dijadikan rujukan.

Malaysia menetapkan 1 Syawwal berdasarkan dua unsur. Pertama, umur Bulan (yakni selisih antara waktu konjungsi hingga terbenamnya Matahari) telah lebih dari 8 jam. Dan yang kedua, ada yang melaporkan hilaal terlihat. Unsur pertama merupakan derivasi dari kriteria MABIMS, yang juga dipergunakan di Indonesia, dan sayangnya kriteria ini disusun dengan pendekatan hilaal asumtif, dengan asumsi-asumsi tertentu dan bukan berdasakan fakta observasi yang valid dan reliabel. Dan unsur yang kedua, jelas merupakan kasus salah lihat. Sebab rata-rata ketinggian Bulan di Malaysia lebih rendah dibanding sebagian besar wilayah Indonesia. Ketinggian Bulan di Malaysia bisa disetarakan dengan tinggi Bulan di Papua karena berada pada satu garis tinggi yang sama.

Keputusan Singapura adalah tidak jelas dasarnya, namun ditengarai merujuk kepada keputusan Malaysia atau Saudi Arabia. Dan karena keputusan Malaysia didasarkan atas kasus salah lihat, maka keputusan Singapura pun terlanjur memasuki ranah kasus salah lihat pula.

Sementara Saudi Arabia menempati posisi unik. Sebagai negara yang menjadi rujukan, khususnya bagi kawasan Timur Tengah dan Eropa, Saudi Arabia tidak memperlihatkan perilaku sebagai rujukan yang baik dalam hal penentuan 1 Syawwal. Meski terdapat kesepakatan di kalangan negara-negara Timur Tengah mengenai kriteria penanggalan Hijriyyah (yang lebih mendekati konsepsi ilmiah kontemporer dibandingkan Indonesia dan Asia Tenggara), namun Saudi Arabia sering menjengkelkan karena kerap jalan sendiri dan melabrak kriteria yang disepakati. Sementara itu terdapat kesepakatan pula bahwa negara-negara Timur Tengah merujuk ke Saudi Arabia.

Saudi Arabia menggunakan kalender Ummul Qura yang kontroversial, namun khusus untuk penetapan dua hari raya dan awal Ramadhan menggunakan dasar laporan terlihatnya hilaal. Dan pada Senin 29 Agustus 2011, hilaal dilaporkan teramati oleh pengamat dalam wilayah Saudi Arabia. Dengan mudah bisa kita lihat penetapan Saudi Arabia (lagi-lagi) adalah kasus salah lihat. Dasarnya, Saudi Arabia pada 29 Agustus 2011 berada dalam situasi ekstrim sehingga rata-rata ketinggian Bulannya jauh lebih rendah dibanding Malaysia, apalagi dibandingkan Indonesia. Di Makkah saja, ketinggian Bulannya mendekati 0 derajat. Dengan kondisi demikian, intensitas cahaya hilaal di Saudi Arabia jelas jauh lebih rendah dibanding intensitas cahaya senja, tak peduli apakah langit dalam kondisi sangat sempurna sekalipun. Sehingga jelas keputusan Saudi Arabia adalah kasus salah lihat.

Prosedur fiqh terhadap laporan terlihatnya hilaal memang sangat sederhana. Asalkan ada dua orang saksi mata (untuk penentuan 1 Syawwal) yang adil dan bersedia disumpah, maka secara fiqh laporannya telah memenuhi syarat. Namun bagaimana jika yang dilaporkan adalah kasus salah lihat, sementara pengamatnya sendiri tidak mengetahui hal tersebut? Inilah yang masih menjadi bahan pertanyaan. Di zaman Rasulullah SAW, kasus salah lihat tidak terdeteksi atau belum muncul, karena otoritas seorang Rasul. Namun kini kita mengetahui kasus tersebut ada dan bahkan sangat signifikan. Harus ada kejelasan terhadap situasi ini, mengingat menentukan penanggalan yang secara konseptual didasarkan pada hilaal di langit, padahal hilaalnya sendiri saat itu tidak ada, justru hanya akan menjadi bahan tertawaan karena dengan demikian menyelisihi prinsip-prinsip yang dibuatnya sendiri.

4. Bukan Karena Hisab vs Rukyat
Fakta sejarah Indonesis kontemporer gamblang memperlihatkan penentuan awal Ramadhan dan dua hari raya senantiasa diwarnai perbedaan, yang bisa berselisih satu hingga dua hari. Belum ada langkah maju untuk mengatasi perbedaan semacam ini. Yang lebih menonjol justru upaya-upaya memahaminya sebagai suatu hal khilafiyah tanpa mencoba menyelesaikannya baik dalam tataran praktis maupun strategis, baik dalam ranah teknis maupun ideo-sosiologis.

Kita sering menyebut faktor utama perbedaan adalah adanya perbedaan antara hisab dan rukyat. Hisab diterjemahkan sebagai pemodelan matematis pergerakan benda langit khususnya Bulan dan Matahari sehingga posisinya setiap saat bisa diestimasikan dengan akurasi tinggi. Sementara rukyat merupakan observasi benda langit khususnya Bulan dan Matahari secara sistematis sehingga menghasilkan data-data posisi yang bisa diperbandingkan dengan observasi sebelum atau sesudahnya. Antara hisab dan rukyat sering dianggap sebagai dua hal terpisah antara satu dengan yang lainnya. Pihak yang mempedomani hisab mengukuhkan pendapatnya dengan justifikasi sejumlah dalil baik merujuk al-Qur’an maupun al-Hadits. Demikian pula pihak yang memperkukuhi rukyat menjustifikasikan pendapatnya dengan cara yang sama.

Namun akar masalahnya ternyata bukanlah disana. Secara konseptual hisab dan rukyat sebenarnya merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan, sehingga bisa diibaratkan sebagai dua sisi dari sekeping uang logam yang sama. Hisab menyajikan prediksi posisi yang bermanfaat dalam pelaksanaan rukyat dan sebaliknya rukyat pun menyajikan data-data posisi yang bisa dikomparasikan dengan hisab. Menceraikan hisab terhadap rukyat ataupun sebaliknya adalah mencederai sebuah konsepsi gemilang telah dibangun cendekiawan Muslim dalam kurun waktu demikian panjang.

Kita bisa melihat kesatuan hasil antara hisab dan rukyat dalam penentuan waktu shalat, misalnya penentuan awal waktu Dhuhur. Nampak jelas antara hisab dan rukyat tidak menimbulkan pebedaab karena menghasilkan waktu yang sama. Ini disebabkan oleh adanya definisi tunggal dalam awal waktu Dhuhur, yang dalam secara bahasa disebutkan sebagai tepat setelah tergelincirnya Matahari. Astronomi menerjemahkan hal ini ke dalam definisi praktis, yakni tatkala Matahari tepat meninggalkan posisi transit atau titik kulminasi atas dalam peredaran semu hariannya. Akibatnya, apakah waktu Dhuhur mau dihitung (dihisab) kek atau diobservasi (dirukyat) kek, hasilnya senantiasa identik.

Kesatuan seperti itu yang sayangnya tidak dijumpai dalam penentuan awal bulan Hijriyyah. Meski secara bahasa, hilaal didefinisikan sebagai Bulan dengan bentuk/fase sabit yang sangat tipis pasca konjungsi Bulan-Matahari (ijtima’), namun definisi praktis dalam ranah astronomi belum disepakati. Secara umum kini hanya dicapai kesepakatan, hilaal adalah Bulan fase sabit pasca konjungsi pada situasi tepat setelah terbenamnya Matahari. Namun definisi praktis selanjutnya, yang terkait dengan persamaan batas (threshold), belum ada titik temu di antara komunitas Umat Islam, baik lokal maupun global.

Di Indonesia, secara umum ada dua definisi praktis hilaal, yakni definisi wujudul hilaal dan imkan rukyah. Definisi wujudul hilaal menyatakan hilaal adalah Bulan pasca konjungsi yang terbenam lebih lambat dibanding Matahari, atau memiliki Lag > 0 menit (Lag = waktu terbenamnya Bulan dikurangi waktu terbenamnya Matahari). Sementara definisi imkan rukyah tidak hanya menyaratkan Bulan terbenam lebih lambat dibanding Matahari, namun juga menyaratkan umur atau batas ketinggian sehingga hilaal adalah Bulan dengan umur minimal 8 jam pasca konjungsi atau tinggi nampaknya (mar’i) 2 derajat (memiliki Lag > 16 menit).

Harus digarisbawahi, kedua definisi tersebut tak satupun yang didasari fakta ilmiah, sehingga tak satupun yang bisa mengklaim definisinya lebih ilmiah dibanding yang lain. Mengapa? Sebab keduanya berdasarkan pada konsep hilaal asumtif. Wujudul hilaal hanya dipedomani Muhammadiyah dan Muhammadiyah menolak imkan rukyah dengan alasan karena tidak ilmiah. Memang, tak ada satupun fakta observasi yang menunjang definisi imkan rukyah. Ada memang yang mengklaim imkan rukyah merupakan derivasi dari observasi hilaal 29 Juni 1984 dan 16 September 1974. Namun evaluasi independen pun menyatakan dua laporan tertanggal tersebut bukan fakta observasi, melainkan kasus salah lihat. Namun sebaliknya, agak aneh pula saat menolak dengan alasan tak ilmiah, Muhammadiyah sebagai organisasi yang memandang dirinya pembaharu dan lebih rasional justru memilih definisi wujudul hilaal yang juga tak kalah tak ilmiahnya karena tak ada satupun fakta observasi menunjangnya.

Dengan mudah bisa kita lihat, jika terjadi situasi yang membuat Lag bernilai lebih dari 0 menit namun kurang dari 16 menit, kedua definisi tersebut akan menyajikan hasil berbeda. Inilah yang menyebabkan terjadinya perbedaan penetapan 1 Syawwal 1432 H antara Muhammadiyah dengan yang lainnya di Indonesia.

5. Bisa Disatukan ? Bisa !
Banyak guyonan menyebut perbedaan penetapan 1 Syawwal justru membawa berkah. Para da’i menjadi berkesempatan untuk berkhutbah dua kali, sementara publik pun berkesempatan berlebaran dua kali pula dalam dua hari berturut-turut. Namun fakta di lapangan justru sebaliknya. Bukan kegembiraan yang muncul, melainkan kegamangan. Pihak yang melaksanakan 1 Syawwal lebih awal dipaksa untuk menyesuaikan dengan situasi dan kondisi, menghormati yang masih berpuasa. Sebaliknya pihak yang melaksanakan 1 Syawwal lebih akhir menjadi gamang bersikap, apakah hendak melibatkan pihak yang lebih awal dalam kegiatan menyambut 1 Syawwal atau tidak. Dalam konteks global, situasi ini kian memperkukuh rasa inferioritas Umat Islam terhadap peradaban-peradaban lain yang bersanding dengannya, karena hanya dalam hal kalender saja, hal esensial yang menunjukkan daya lenting peradaban, Umat Islam tidak bisa mempersatukannya. Apalagi dalam hal-hal yang lebih strategis di tengah percaturan kekuatan-kekuatan dunia.

Apakah perbedaan itu tidak bisa dihilangkan, dengan kata lain apakah persatuan tidak bisa dicapai? Dalam konteks Indonesia, bisa ! Dan secara teknis hal tersebut mudah. Apakah mau menggunakan hisab atau rukyat, sepanjang kita campakkan baik definisi wujudul hilaal maupun imkan rukyah dan bersama-sama menyusun sebuah definisi tunggal yang berterima di semua pemangku kepentingan sekaligus tidak mengabaikan fakta astronomis-meteorologis-fisiologis, maka Insya’ Alloh 1 Syawwal akan ditetapkan pada saat yang sama.

Inilah pekerjaan rumah bagi setiap pemangku kepentingan, yang selama ini cenderung mengabaikannya dan berlindung pada kata-kata toleransi. Segenap pihak harus mau duduk bersama, membentuk tim perumus yang membahas persoalan ini dari segenap aspek. Definisi tunggal harus mencakup sebuah persamaan batas yang matematis, sekaligus menyingkirkan sistem-sistem perhitungan (hisab) yang terbukti tidak menyajikan hasil akurat tatkala dibandingkan dengan gerhana. Definisi tunggal bisa terwujud tatkala semua membahasnya dengan kerendahan hati, tanpa ada perasaan menang atau kalah dalam aspek ini. Sebab setelah itu tugas berat masih menanti, yakni bagaimana menyosialisasikannya kepada publik Indonesia dalam jumlah demikian besar dan dalam lingkup geografis demikian luas.

Kami sendiri telah menyusun sebuah usulan tentang definisi tunggal semacam itu, dalam wujud yang kami namakan kriteria RHI. Riset Sudibyo (2009, 2010, 2011) berdasarkan basis data visibilitas hilaal Indonesia 2007 – 2009 menyimpulkan hilaal adalah Bulan dengan Lag antara 24 hingga 40 menit. Konsekuensinya terlihatnya hilaal tak hanya bergantung pada tinggi mar’inya saja, namun juga dipengaruhi selisih jarak mendatar (beda azimuth) Bulan dan Matahari yang membentuk persamaan batas. Singkatnya, bila beda azimuthnya 7,5 derajat tinggi Bulan minimal 3,6 derajat, maka tingginya terus bertambah seiring mengecilnya nilai beda azimuth sehingga pada beda azimuth 0 derajat tinggi Bulan minimal adalah 9,4 derajat. Persamaan batas ini ternyata tidak hanya berlaku bagi di Indonesia, melainkan bersifat global meski terbatas hanya di daerah tropis. Laporan hilaal terlihat, bila berada di bawah persamaan batas tersebut, sebaiknya harus disikapi dengan berbesar hati sebagai kasus salah lihat.

http://www.kafeastronomi.com/beda-lebaran-bukan-persoalan-hisab-vs-rukyat.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar