Selasa, 11 September 2012

Hari Ini 11 September, 12 Tahun yang Lalu, Perang Terhadap ‘Teroris’ Dimulai (3 – Habis)


“PESAWAT kedua menghantam menara kedua, Amerika diserang,” kata Kepala Staf Gedung Putih, Andrew Card, kepada Presiden George Bush—ketika itu. Selama sekitar lima hingga tujuh menit, George W Bush tetap berada di ruang kelas di Sekolah Dasar Emma E Booker, di Sarasota, Florida, yang dikunjunginya saat berlangsung pelajaran membaca.

Tragedi 11 September membawa implikasi fundamental terhadap situasi dan percaturan politik internasional. Bagi Amerika Serikat (AS) sendiri, peristiwa tersebut merupakan pukulan telak bagi supremasi adidaya, yang menuntut respon dalam bentuk “perang terhadap terorisme.” Bagi negara-negara lainya, selain menyadarkan mereka bahwa ancaman serius terhadap kemanusiaan dapat mengambil bentuk yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya, tragedi WTC dan respon AS terhadap terorisme merupakan awal dari terbangunnya sebuah tatanan politik dunia yang ditandai oleh meningkatnya ancaman non-tradisional (khususnya dalam bentuk terorisme) dan hegemonisme AS sebagai adidaya tunggal.

Namun, berubahnya situasi keamanam pada level global itu tidak berarti bahwa situasi keamanan regional juga telah mengalami perubahan secara fundamental. Meskipun negara-negara di kawasan Asia Tenggara juga mengakui bahwa terorisme merupakan ancaman serius bagi negara dan masyarakat, hal itu tidak berarti bahwa isyu-isyu keamanan lainnya di kawasan menjadi tidak penting.

Bagi kawasan Asia Tenggara, peristiwa 11 September hanya semakin memperumit kompleksitas tantangan keamanan di kawasan, yang sebelumnya telah ” akrab” dengan berbagai ancaman non-tradisional termasuk terorisme. Hanya saja, dengan dijadikannya terorisme sebagai agenda utama—kalaupun bukan sebagai agenda tunggal—dalam kebijakan keamanan nasional dan politik luar negeri AS, negara-negara Asia Tenggara terpaksa dihadapkan pada sebuah realita baru yang merupakan konsekuensi dari dari kebijakan AS itu.

Situasi Global Pasca 11 September

Tragedi 11 September 2001 membalik semua kecenderungan yang ada. Seolah mendapat alasan dan keharusan baru, peristiwa tersebut menjadi faktor signifikan bagi penguatian hegemoni AS, yang dimanifestasikan dalam bentuk kehadiran dan peran global AS dalam pentas politik internasional secara lebih dominan.

Serangan 11 September, entah oleh siapa pastinya, memperkuat keyakinan para pemimpin AS bahwa kepentingan keamanan negara itu tidak dapat dilepaskan dari situasi keamanan global, yang pada gilirannya menuntut penguatan posisi hegemoni AS dan keterlibatan luas dalam percaturan politik internasional. Penguatan itu tampak jelas antara lain dalam dua aspek, yakni respon AS terhadap terorisme pada tataran umum, dan invasi ke Afghanistan dan Irak pada tataran khusus.

Respon AS Terhadap Terorisme

Dalam merespon terorisme, kalkulasi kebijakan keamanan, pertahanan, dan luar negeri AS dapat dikatakan berubah secara signifikan, yang pada gilirannya telah mempengaruhi konstelasi politik internasional.Pertama dengan sikapnya yang keras, AS tampaknya ingin melahirkan semacam struktur “bipolar” baru yang memperumit pola-pola hubungan antar negara.

Pernyataan Presiden George W. Bush, “either you are with us or you are with the terrorists,” secara hitam putih menggambarkan dunia yang terpilah dalam sebuah pertarungan antara kekuatan baik (good) dan kekuatan jahat (evil). Pemilahan dunia demikian mempersulit posisi banyak negara, khususnya negara-negara pasca kolonial yang tidak ingin dipersepsikan oleh konstituennya berada dalam orbit AS. Lagipula, tampaknya sulit bagi AS untuk menerima pendapat negara-negara lain bahwa perang melawan terorisme tidak harus dilakukan dibawah pimpinan AS.

Sementara itu bagi banyak negara berkembang, masalah kemiskinan, pengangguran, keterbelakangan, dan konflik antar-etnik dilihat lebih berbahaya ketimbang masalah terorisme sebagai ancaman utama bagi kelangsungan hidup mereka sebagai sebuah negara.

Kedua, tragedi 11 September juga telah membuka kemungkinan berubahnya parameter yang gunakan AS dalam menilai sebuah negara. Sekarang ini, AS cenderung lebih hirau kepada masalah terorisme ketimbang isyu demokrasi dan hak asasi manusia (HAM). Kenyataan bahwa Presiden Pervez Musharraf di Pakistan naik ke panggung kekuasaan melalui kudeta militer, misalnya, tidak lagi menjadi penghalang bagi AS untuk menjalin aliansi anti-terorisme dengan negara itu.

Dengan kata lain, AS tampaknya cenderung menjadikan “komitmen” melawan terorisme, ketimbang komitmen terhadap demokrasi dan HAM, sebagai alat menilai siapa lawan dan kawan. Akibatnya, telah terjadi pergeseran agenda global dari demokrasi dan HAM menjadi perang khususnya terorisme yang dianggap mengancam kepentingan dan keamanan AS secara langsung. Ketiga, ditambah dengan adanya kecenderungan yang mengaitkan Islam dengan terorisme di kalangan para pengambil kebijakan di AS, tatanan politik global semakin diperumit oleh ketegangan antara AS dengan negara-negara Islam ataupun negara-negara yang berpenduduk mayoritas Muslim.

Kehati-hatian (jika tidak bisa dikatakan ‘ketakutan’) dari negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim dalam merespon persoalan terorisme ini kerap menimbulkan kecurigaan dari AS, dan bahkan tidak jarang melahirkan tekanan-tekanan politik yang tidak mudah untuk dihadapi.

Akibatnya, pemerintah di negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim kerap dihadapkan kepada dilema antara “kewajiban” memberantas terorisme di satu pihak dan keharusan untuk menjaga hak-hak konstituen domestik di lain pihak. Dengan kata lain, kebijakan “perang terhadap terorisme” yang dijalankan AS telah menimbulkan ketegangan-ketegangan baru dalam hubungan antara pemerintah dan kelompok-kelompok Islam di banyak negara Muslim. Sampai sekarang, AS tampaknya masih mengalami kesulitan dalam merumuskan dan menjalankan kebijakan “perang melawan terorisme” yang tidak menimbulkan komplikasi dalam hubungannya dengan Dunia Islam.

Keempat, untuk mengantisipasi kemungkinan serangan-serangan teroris di masa depan, AS juga telah mengadopsi sebuah doktrin baru, yakni doktrin preemption. Melalui doktrin ini, AS secara sepihak memberikan hak kepada dirinya sendiri untuk mengambil tindakan terlebih dahulu, khususnya melalui tindakan militer unilateral, untuk menghancurkan apa yang dipersepsikannya sebagai kemungkinan ancaman terror terhadap kepentingan AS di mana saja. Doktrin preemption tersebut jelas meresahkan banyak negara, dan dapat mengubah tatanan, nilai dan norma-norma hubungan antarnegara secara fundamental.

Dalam konteks doktrin preempition dan kecenderungan unilateralis itu, prinsip kedaulatan negara, arti penting dan peran institusi-institusi multilateral seperti PBB dan organisasi regional, serta ketentuan-ketentuan hukum internasional dapat saja diabaikan. Dengan kata lain, unilateralisme AS, yang didukung dengan kekuatan ekonomi dan militer yang tidak tertandingi, akan menjadi faktor penentu yang sangat dominan bagi tatanan politik global di waktu mendatang.

Kelima, AS kini tampil sebagai negara adidaya tunggal yang sangat yakin bahwa pendekatan militer merupakan pendekatan terbaik dalam memenuhi dan melindungi kepentingan-kepentingan keamanannya. Aksi serangan militer ke Afghanistan, dan invasi ke Irak, merupakan contoh nyata dari keyakinan demikian. Penekanan kepada pendekatan militer itu terlihat juga melalui peningkatan anggaran pertahanan yang signifikan sejak 11 September, peran Pentagon yang dominan dalam menjalankan kebijakan luar negeri, dan peningkatan bantuan militer kepada pemerintah di negaranegara yang diharapkan AS dapat menjadi mitra dalarn perang melawan terorisme, seperti Pakistan, Filipina, dan negara lainnya di Timur Tengah.

Kecenderungan demikian juga terlihat dalam upayanya membangun koalisi internasional melawan terorisme, dimana AS tidak segan-segan mengucurkan dana milyaran dolar untuk memperkuat hubungan militer dengan negara-negara yang diharapkan dapat menjadi mitra dalam perang terhadap terorisme. Bagi AS, upaya untuk menghancurkan kelompok-kelompok yang dituduh menjadi organisasi teroris tampaknya jauh lebih penting ketimbang mencari dan menghilangkan faktor-faktor yang menyebabkan lahirnya terorisme itu sendiri. [bbcnews/anggiafghanistan/basisme1448/the noock]

HABIS

http://islampos.com/hari-ini-11-september-12-tahun-yang-lalu-perang-terhadap-teroris-dimulai-3-habis/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar