Jumat, 15 Juli 2011

Kolom Djoko Suud : SBY Salah Melulu

Jakarta - Saban SBY bicara dianggap salah. Jangan lagi memang bicara salah. Bicara benar pun tetap 'disalahkan'. Itu sudah terjadi berulangkali, hingga mengomentari soal media yang dianggapnya tidak profesional. Ada apa ini? Mari kita membedahnya melalui pakem dunia antah-berantah, metafisika.

SBY menjabat sebagai presiden periode pertama melalui cara 'unlogic'. Kejadian itu mirip yang dialami Megawati Soekarnoputri. Dalam keyakinan Jawa, proses kuasa seperti itu akrab disebut Satrio Piningit. Calon pemimpin tersembunyi.

Calon pemimpin seperti ini punya aura tinggi. Magnet. Siapa saja yang mendukung akan ikut menerima pamor. Dan siapa saja yang menentang akan kehilangan asa. Maka tatkala SBY terpilih sebagai presiden yang disebut juga sebagai Satrio Pinilih, suara Partai Demokrat tak terbayangkan banyaknya. Juga suara PDIP di kala Mbak Mega meraih kejayaan.

Dalam sejarah Satrio Piningit, Satrio Pinilih, dan sering juga dinamai Ratu Adil, ada benang merah yang sama. Pemimpin seperti ini akan tetap dicintai rakyat, malah dikultuskan, kalau mereka memang menyatu dengan rakyat. Dia berkata bersama rakyat, bekerja bersama rakyat. Tidak inklusif apalagi eksklusif.

Persona ini pada awalnya lekat dengan sosok Erucokro. Ini nama mistis Pangeran Diponegoro. Melakukan perlawanan dengan Belanda. Hidup bersama rakyat di perbukitan Menoreh. Dan dipuja sampai akhir hayat. Kendati motif di balik itu antara lain akibat makam leluhur digusur penjajah.

Sosok kedua yang dikategorikan sebagai Satrio Pinilih itu adalah Bung Karno. Dia lantang menyuarakan suara rakyat, mengambil risiko masuk penjara, dan tetap hidup sederhana. Dia berhasil 'dijatuhkan' lewat tudingan 'mendukung' partai komunis. Bung Karno jatuh akibat keberpihakan. Mengalienasi diri dari sebagian rakyat. Lepas itu hasil rekayasa atau tidak.

Satrio Pinilih yang ketiga adalah Megawati Soekarnoputri. Melalui gerakan yang melelahkan, putri Bung Karno ini tampil sebagai idola. PDIP pecahan dari PDI berhasil memboyong anggota partai induknya. Bahkan yang tidak berpartai pun ikut kampanye dan mencoblos banteng mulut putih ini. Jangan kaget jika perolehan suara partai ini berlebih-lebih.

Dalam pemilu berikutnya Mbak Mega kalah. Banyak yang tidak menduga itu. Tapi jika merujuk norma Satrio Pinilih, kejatuhan itu memang tinggal menunggu waktu. Ada dua sebab yang mengindikasikan kejatuhan itu. Dalam 'tata aturan' Satrio Pinilih, dua persoalan itu tidak boleh ditinggalkan.

Pertama, Satrio Pinilih itu harus dekat rakyat. Bersama merasakan penderitaan, dan bersama pula dalam kebahagiaan. Ketika memerintah, Mbak Mega tidak datang di banyak bencana. Saat ditanya wartawan, dengan enteng menjawab sudah ada gubernur yang mengurusi itu.

Kedua, Satrio Pinilih itu tidak boleh ada yang 'mengatasi'. Taufik Kiemas sering melakukan itu. Berusaha menjadi matahari ketika Mbak Mega sedang bersinar. Itu pula alasan saya menyarankan Mbak Mega 'menceraikan' Taufik Kiemas kala itu, agar kembali mendapatkan peluang untuk memperoleh 'pulung keprabon'. Keberuntungan untuk berkuasa. Bagaimana dengan SBY yang dianggap salah melulu?

Ikut merasakan penderitaan rakyat yang tengah terkena musibah sudah dilakukan dengan baik. Banyak musibah pamor SBY akan semakin naik. Namun dalam situasi 'aman' aura itu justru tergerogoti. Apalagi kalau sering-sering memberi komentar. Mengomentari apa saja.

Satrio Pinilih itu kata-katanya adalah idu geni. Ucapnya sabdo pandito ratu. Jarang bicara banyak berbuat. Keras dan tegas bersikap. Tidak moderat dan solider. Tidak meralat dan mengulang yang sudah terucap. Sebab semua itu harus terwujud.

Tapi SBY tidak melakukan itu. Dia masih suka berwacana. Mengatasi persoalan melalui kata-kata bijak. Mewakilkan tindakan melalui satgas-satgas. Membiarkan yang terjadi terjadilah. Itu yang membuatnya lemah dan terus-terusan disalahkan.

Jika di sisa waktu ini SBY tetap seperti itu, maka hampir bisa dipastikan kelak akan mendapatkan rasa malu. Dilecehkan rakyat, dijadikan bulan-bulanan menterinya, dan lengser tanpa penghargaan. Rakyat sedang menunggu 'sabdo' yang bernas. Mantra yang menghukum mati atau seumur hidup para koruptor. Mendatangkan Nazaruddin dan Nunun Nurbaeti dari pelarian. Serta mengganti menteri yang tak becus tanpa melihat asal partai yang merekomendasi.

Atau ini memang tanda aura Satrio Pinilih mendekati lingsir?

*) Djoko Suud Sukahar adalah pemerhati sosial budaya. Penulis tinggal di Jakarta.
(vit/vit)

http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=4718849546599705837

Tidak ada komentar:

Posting Komentar