Kamis, 11 Agustus 2011

MasterChef Indonesia, Ajang Kompetisi Memasak Superseru


SALAH satu yang beberapa bulan belakangan cukup heboh dan menarik perhatian warga Twitter adalah MasterChef Amerika yang tayang di kanal Star World. Kita dibuat terpana dengan mewahnya dapur, teknik memasak, sampai hasil makanan yang bikin ngiler. Apalagi semangat para peserta luar biasa.

Anda yang menonton pasti ingat bagaimana drama di detik-detik terakhir final, saat si cantik Whitney berhasil keluar dari tekanan akibat ayamnya yang hampir matang jatuh. Dengan waktu tujuh menit tersisa, Whitney memulai dari awal dan akhirnya berhasil keluar sebagai pemenang.

“Saat itu kalimat pertama yang keluar: 'Oh, no!' Tapi aku kemudian berpikir, aku tak boleh kalah hanya karena menjatuhkan ayam. Aku pun bergegas mengambil ayam mentah lain di piring, memasaknya, dan tak henti berdoa,” ujarnya.

Kisah Whitney jadi lecutan buat orang yang gampang menyerah. Kalau di kondisi yang nyaris tak ada kemungkinan menang saja ia bisa sukses, kenapa kita tidak? Itu baru MasterChef dewasa, ya. Anda pasti akan makin terkagum-kagum saat menonton Junior MasterChef Australia.

Bayangkan, anak-anak kecil usia 9-13 tahun mampu menghasilkan makanan sekelas hotel! Seri MasterChef yang dikemas sangat menarik ini menghipnotis publik Indonesia.

Makanya begitu RCTI kemudian merilis MasterChef Indonesia (MCI), responsnya luar biasa. Baru memasuki episode perdana Minggu (1/5), rating MCI yang menjaring hampir 2.000 peserta audisi ini langsung merangsek ke jajaran sepuluh besar, bersaing dengan komplotan sinetron.

Keputusan mengambil lisensi yang berbuah manis, mengingat menurut Rudy Ramawy selaku Director of Production and Programming RCTI, Indonesia merupakan negara Asia Tenggara pertama yang menyelenggarakan program MasterChef.

Ubey Sain, sang produser eksekutif menambahkan, “Kami sengaja mengambil acara masak karena ajang talent show di Tanah Air, kan selama ini berkutat di kompetisi nyanyi dan menari. Kami sengaja ingin cari variasi berbeda yang menyegarkan dan jadi tontonan menarik.”

Adakah perbedaan MCI dengan seri MasterChef versi negara asalnya, Inggris (sejak tahun 1990), dan negara-negara lainnya? Secara format, sama. Perbedaan paling kentara, tentu dari segi makanan. Karena namanya MCI, masakan yang dimasak lebih dari 50 persennya bernuansa lokal.

“Anda pasti nanti bakal terkejut, mengetahui banyak makanan khas Indonesia yang bisa dikreasikan semewah makanan internasional,” ujar Ubey, yang memastikan seluruh bahan makanan yang dimasak di dapur MCI tak akan terbuang sia-sia. “Kami menggunakan banyak sekali bahan makanan untuk acara ini. Seperti bawang bombay di episode pertama kemarin. Sehabis acara, kami membagikan bawang bombay itu kepada para pedagang martabak. Intinya, sebisa mungkin tak mubazir seluruh bahan makanan yang tersisa.”

Selain masakan dan proses kompetisinya, juri dan peserta faktor lain yang jadi fokus utama. Di MCI, kita diperkenalkan kepada tiga juri. Ada Junior “Juna” Rorimpandey, yang 14 tahun tinggal di Amerika dan berprofesi sebagai executive chef, consulting chef, line cook, dan sushi master. Yang kedua ada Vindex Valentino Tengker, chef profesional yang terjun ke dunia kuliner sejak 1989.

Vindex yang kini menjabat Presiden Association of Culinary Professionals Indonesia pernah bekerja di Mallorca, Spanyol, dan Los Angeles, Amerika. Karier cemerlang membawanya bertemu Diana Ross, Whitney Houston, Bobby Brown, dan Nicolas Cage yang jadi tamu di tempatnya bekerja. Yang terakhir, termuda, dan satu-satunya juri wanita, Rinrin Marinka. Rinrin lulusan Le Cordon Bleu, Sydney, Australia.

Di episode perdana kemarin penonton langsung bisa menilai, bagaimana kira-kira karakter para juri. Juna digambarkan sebagai sosok yang dingin dan tak ragu mengkritik dengan kata yang lumayan pedas, kalau kreasi masakan peserta tak memuaskan. ”Dagingnya keras, bumbu berantakan, bagaimana mau jadi master chef?” tukasnya kepada seorang peserta.

Tapi layaknya Simon Cowell, Juna juga tipe orang yang tak ragu memuji kalau makanannya benar enak. ”Enak, ini adalah rasa yang kita inginkan dari masakan semur,” bilangnya.

Sifat keras Juna bukan tak berdasar. Ia ingin lulusan MCI bisa bersaing dan berjuang di kancah profesional. ”Mereka di sini, kan cuma ditempa selama tiga bulan, jelas harus dididik keras. Kami saja yang belasan dan puluhan tahun masih terus belajar melalui perjuangan keras,” paparnya.

Lain Juna, lain Vindex. Ia menilai dirinya sebagai sosok kebapakan. Ia pun menginginkan lulusan MCI bukan hanya andal sebagai chef, tapi juga punya kemampuan berkomunikasi yang baik.

”Dengan begitu bisa lebih mengekspresikan hasil karyanya.” Marinka sebagai satu-satunya cewek mengaku sangat memperhatikan penyajian makanan—sebagaimana ia memperhatikan penampilannya yang selalu modis. ”Saya percaya presentasi dan rasa makanan itu sama pentingnya. Dan ini berlaku untuk masakan yang paling sederhana sekalipun.”

Para juri punya karakter kuat, pun dengan para peserta. Sekali menonton, Anda mungkin bisa menentukan jagoan dari 30 peserta terpilih. Ada yang superpolos seperti Sarwan, seorang office boy berusia 41 tahun. Di kantor, ia sering memasak untuk teman-temannya.

Yang lucu, ia sama sekali tak pernah memasak daging! Tapi saat ditantang masak daging, ajaibnya dagingnya superempuk dan bikin juri terpukau. Ada lagi direktur asal Surabaya, Dudy (59), yang bercita-cita memiliki restoran.

Sebagai peserta tertua, ia disegani dan dianggap ayah sendiri oleh para peserta lain selama karantina. Begitulah, dengan ragam karakter dan latar belakang, Anda akan diajak menyelami pola pikir para peserta yang tersaji lewat kreasi makanan. Tapi hati-hati ngeces saat nonton, hehehe.

(yoci & riz) Foto-foto: Markuat/BI
http://www.tabloidbintang.com/film-tv-musik/ulasan/11962-masterchef-indonesia-ajang-kompetisi-memasak-superseru.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar