Kamis, 05 Mei 2011

Jangan Bugil di Depan Kamera

SYAHDAN pada awal 2007. Sony Adi Setyawan, 38 tahun, tengah menimang-nimang sebuah cakram digital dari temannya. Ia tak tahu apa isinya. Setelah dibuka, dia kaget. Ternyata di dalam cakram itu tersimpan ratusan cuplikan adegan pornografi dengan format dokumen 3gp.

Yang membuat Sony tersentak, semua pemain film mesum itu adalah orang Indonesia. Lokasi pengambilan gambarnya pun tersebar dari berbagai daerah di Tanah Air. Dosen mata kuliah produksi program televisi di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta ini pun jadi gusar. Ia merasa ada sesuatu yang tak beres.

Ia lalu mengungkapkan keprihatinannya terhadap banyaknya video mesum lokal itu di sebuah mailing list (milis) Internet. Ia berkampanye melawan peredaran aksi mesum melalalui peranti teknologi. Di milis itu ia menyebut maraknya peredaran video pornografi anak negeri ini adalah sebuah kesalahan sosial. “Tanggapannya ramai, dan anggota milis lain ternyata banyak berpendapat sama,” katanya seperti dikutip Tempo, Mei silam.

Reaksi di milis memicu praktisi pertelevisian itu untuk mendeklarasikan gerakan Jangan Bugil di Depan Kamera (JBDK) pada 11 April 2007. Dari kampung halamannya di Yogyakarta, ia mensosialisasi gerakan tersebut melalui blog pribadi dan di Facebook. Gerakan itu kemudian menggema ke delapan penjuru angin.

Hari-hari ini, ketika publik dikagetkan oleh beredarnya video porno orang yang diduga Ariel Peterpan, Luna Maya, dan Cut Tari, saya teringat Sony dan gerakan yang dipeloporinya itu. Saya merasa gerakan moral tersebut masih relevan sampai sekarang dan layak terus digaungkan.

Gerakan itu bukan tanpa alasan. Peredaran video porno kian menggila belakangan ini. Jika pada 2007, menurut catatan Sony, peredaran video porno yang melibatkan remaja dan diproduksi oleh kalangan remaja melalui kamera telepon seluler ada sekitar 500 video, kini angkanya niscaya berlipat-lipat. Sony memperkirakan ada sekitar 750 hingga 900 video porno lokal yang sudah beredar.

Membuat video pribadi untuk konsumsi privat memang tak melanggar hukum. Namun dokumen ini rawan bocor ke tangan orang lain. Jika sampai jatuh ke tangan orang yang tak berhak, bisa runyam akibatnya, seperti yang terjadi pada kasus video yang hari-hari ini membuat heboh itu. Orang yang membuat bukan saja akan mendulang aib, tapi kemungkinan mendapat sanksi sosial, dikeluarkan dari sekolah, kehilangan kontrak, diperiksa polisi, dan seterusnya.

Di era ketika pertukaran dokumen begitu mudah terjadi, video yang bocor itu juga bisa dengan mudah disebarkan ke mana-mana. Tak susah-susah amat orang menemukannya di situs-situs pertukaran dokumen di mayantara. Begitu sebuah video porno diunggah, tak butuh keajaiban untuk menyebarkan dalam tempo singkat. Jejaring media sosial seperti Facebook dan Twitter merupakan sarana yang sangat ampuh untuk mempopulerkannya.

Celakanya, konsumen terbesar materi pornografi adalah anak SD, SMP, dan SMA. Merekalah raja dan ratu di ranah maya. Dokumen-dokumen yang paling tersembunyi pun bisa mereka temukan. Bahkan hanya dengan sekali klik, mereka bisa bertukar-menukar dokumen video antarsesama teman.

Kalau itu terjadi, giliran para orang tua yang pusing tujuh keliling. Anak-anak yang secara psikologis dan sosial belum matang ini bukan tak mungkin akan mencontoh adegan porno yang beredar melalui Internet, handphone, dan sebagainya.

Maka hari-hari ini saya pun kembali teringat pada Sony dan gerakan “Jangan Bugil di depan Kamera.” Saya terbayang anak-anak yang menyesaki warnet-warnet untuk berburu gambar mesum. Dan saya memikirkan wajah orang-orang tua yang cemas.

http://blog.tempointeraktif.com/blog/jangan-bugil-di-depan-kamera/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar