Kamis, 14 April 2011
Apa Sebab Mandala Terpuruk ?
Bertolak belakang dengan maskapai Garuda Indonesia, nasib yang berbeda dialami oleh Mandala Airlines. Maskapai dengan sejarah panjang selama empat dekade ini, pada 13 Januari 2011 menghentikan operasionalnya karena masalah finansial.
“Dalam beberapa bulan terakhir, Mandala Airlines mengalami kerugian bisnis dan situasi saat ini mengharuskan kami untuk melakukan restrukturisasi perusahaan sehingga dapat memberi ruang bagi masuknya investor baru.” Ungkap Presiden Direktur Mandala Airlines, Diono Nurjadin.
Mandala memiliki waktu 45 hari untuk restrukturisasi semenjak Pengadilan Niaga Jakarta Pusat merestui Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) (17/1). Restrukturisasi ini membuka peluang masuknya investor baru. Diakuinya saat ini ada beberapa investor yang tertarik menanamkan modalnya ke Mandala. “Pemegang saham saat ini (Cardig dan Indigo) akan memberikan penawaran terbaik.” Jawabnya saat ditanya akan kemungkinan terjadinya delusi saham.
Kabar penghentian operasional sementara Mandala ini terasa ironis, mengingat prestasi yang diraih Mandala dalam kurun dua tahun terakhir terlihat impresif. Mandala menjadi satu-satunya maskapai swasta di Indonesia yang lolos larangan terbang Uni Eropa pada Juli 2009 dan mendapatkan sertifikat IATA Operational Safety Audit (IOSA) dari International Air Transport Association (IATA) pada Maret 2010. Jumlah penumpang pun melonjak dari 1.700 hingga 3.400, atau sekitar 99% pada tahun 2007-2008. Mandala membuktikan bahwa masih ada maskapai yang mengutamakan keselamatan, namun lebih murah.
Momentum yang didapat oleh Mandala tersebut ternyata berujung antiklimaks. “Bibit-bibit kemunduran mulai tersemi sepuluh tahun lalu manakala manajemen Cardig (saat itu pemilik 100% saham) memutuskan mempertahankan karyawan warisan pemilik lama (Kostrad),” ungkap Donnie Armand, Manager Airline Strategy dari konsultan TASC Aviation. Jumlah karyawan waktu itu sekitar 1600-an. “Perbandingan jumlah karyawan dan maskapai yang dimiliki ternyata tidak bisa menutupi turnaround cost. “ ungkap konsultan penerbangan independen, Gerry Soejatman.
Kepergian Warwick Brady secara tiba-tiba dari struktur perusahaan di akhir 2009 juga mengindikasikan ada perbedaan pendapat di tubuh Mandala. Brady memiliki konsep Mandala sebagai Value Added Carrier, konsep yang dipakai LCC (Low Cost Carrier) modern seperti Easy Jet. Sementara Indigo yang dikenal sebagai spesialis LCC (Indigo memiliki saham beberapa maskapai LCC seperti Tiger Airways, Whizz Air, Abnanova, dan Spirit), menginginkan konsep full LCC seperti maskapai AirAsia.
Gerry Soejatman menilai cost control yang buruk dan perbedaan prinsip antar pemegang saham menjadi faktor utama terpuruknya Mandala. “Kalau Mandala ingin selamat, mereka harus menyelesaikan konflik internal ini,” Tegasnya. “Entah salah satunya mengalah, atau malah mundur sekalian,” imbuhnya. Sebab tidak mungkin jika Cardig sebagai pemegang saham mayoritas melepas sebagian sahamnya, karena otomatis Indigo akan menjadi pemegang saham mayoritas. Hal ini bertentangan dengan aturan pemerintah yang melarang perusahaan asing sebagai pemegang saham mayoritas.
Sementara Donnie Armand berpendapat, “Kasus Mandala ini bisa dicegah jika regulator (pemerintah) memberlakukan aturan tegas kepada maskapai untuk memberi laporan keuangan secara berkala.” Aturan maskapai menyerahkan laporan keuangan berkala ini baru mulai diterapkan pemerintah melalui Departemen Perhubungan pertengahan tahun 2009 lalu, melalui Undang Undang Penerbangan Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan.(RM)
http://www.indoflyer.net
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar