Kamis, 14 April 2011
Dari Soekarno sampai SBY
Judul buku: Dari Soekarno Sampai SBY: Intrik & Lobi Politik Para Penguasa
Penulis: Prof Dr Tjipta Lesmana, M.A
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008
Tebal: xxx + 396 halaman
Wakil Presiden Jusuf Kalla pernah melontarkan kerisauannya atas hubungan silaturrahmi para Presiden RI dengan pendahulunya. Sebab mereka tidak saling bertegur sapa setelah lengser dari posisi RI-1.
Sejarah membuktikan, setelah orde lama tumbang, Bung Karno tak bertegur sapa dengan Soeharto. Demikian pula Soeharto dan BJ Habibie tak bertegur sapa setelah orde baru tumbang.
Putusnya komunikasi juga terjadi antara BJ Habibie dengan Abdurrahman Wahid, serta Abdurrahman Wahid dengan Megawati.
Terakhir, Megawati, yang merasa dikhianati, tak bertegur sapa hingga kini dengan penggantinya, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Kenapa mereka putus komunikasi dan silaturrahmi? Apakah mereka menyimpan dendam kepada penggantinya?
Buku ini mengupas komunikasi politik enam Presiden RI, mulai dari Soekarno hingga SBY. Penulisnya, Tjipta Lesmana, juga menganalisis karakter para RI-1, termasuk watak buruk seperti pendendam, yang diidap beberapa orang RI-1.
Berdasarkan karakteristik komunikasi politik enam presiden tersebut, Tjipta menyimpulkan sebagai berikut.
Soekarno: Terbuka, konsisten (dalam arti tidak plintat-plintut), artikulasi penyampaian visi dan misi sangat gamblang. Konteks komunikasinya sangat rendah, tegas, cepat mengambil keputusan, dan sangat firmed dalam pelaksanaan keputusan.
Soekarno, menurut Tjipta, temperamental, memiliki sense of humor yang tinggi, dan pendendam.
Soeharto: Tertutup, konsistensi cukup tinggi, konteks komunikasi bersifat situasional, tapi umumnya tinggi, meski dia bisa juga sangat low context. Jika marah, ekspresi wajahnya tidak bisa disembunyikan.
Soeharto kuat dengan bahasa nonverbal, seperti angguk-angguk kepala, senyum, dan mengisap cerutu. Penyampaian visi-misi jelas. Emosinya terkendala baik, dan hampir selalu tampil dengan sosok yang cool, tidak ada rasa humor.
Ketika mengambil keputusan, Soeharto tergolong cepat dan firmed. Sekali dia membenci seseorang, seumur hidup tidak bisa luntur kebenciannya.
BJ Habibie: Sangat terbuka, namun terkesan mau menang sendiri dalam berwacana, dan alergi terhadap kritik. Tapi, dia no hard feeling, sangat demokratis, konteks rendah. Berbicara selalu cepat sehingga khalayak kadang tidak paham. Tidak punya visi-misi karena tampil sebagai presiden semata-mata keadaaan darurat.
Sebagai pemimpin yang sekonyong-konyong dihadapkan begitu banyak permasalahan pelik, Habibie tidak bisa berpura-pura, tapi harus bertindak cepat di semua lini.
Dia selalu tampak serius, jalan cepat, bicara cepat, dan tidak ada sense of humor.
Abdurrahman Wahid: Sangat terbuka, demokratis, sangat impulsif. Dia bisa tertawa terbahak-bahak karena rasa humornya yang begitu tinggi. Namun bisa juga menggebrak meja sekerasnya di depan komunikannya.
Gus Dur suka menggertak lawan. Bicara “blong”, seolah tidak ada filter sama sekali. Konteksnya middle low context.
Dia pun tidak pusing dengan kritik terhadap dirinya dari mana pun datangnya. Semua lawannya setiap saat bisa dimaafkan. Jadi, tidak pernah ada hard feeling, tapi kadang bisa juga dendam pada lawan politik.
Konsistensinya amat sangat rendah. Apa yang dikatakan pagi hari, sorenya bisa dibantah sendiri. Nyaris tidak pernah menyinggung visi-misi dalam pidato-pidatonya.
Megawati Soekarnoputri: Cukup demokratis, tapi tertutup, cepat emosional, dan kadar konsistensinya kurang. Di mana pun dia berusaha melempar senyum, namun komunikasinya berkonteks tinggi, meski tidak setinggi bahasa Soekarno. Kadang bisa juga low context, apalagi sebelum menjadi presiden.
Dengan orang-orang yang memiliki kedekatan khusus, dia bisa berkonteks rendah, bahkan “curhat”.
Mega alergi pada kritik, komunikasi politiknya didominasi oleh keluhan dan unek-unek, nyaris tidak pernah menyentuh visi-misi pemerintahannya.
Tanpa diragukan lagi, Tjipta menyimpulkan, Megawati sangat pendendam.
SBY: Demokratis, menghargai perbedaan pendapat, tetapi selalu defensif jika dikritik. Dia ultra hati-hati dalam segala hal sehingga terkesan bimbang dan ragu.
Konteks bahasa: antara tinggi dan rendah, tapi kecenderungannya tinggi. Sebagai seorang perfectionist, dia selalu berusaha berkomunikasi dengan bahasa tubuh dan verbal yang sempurna. Kata dan kalimat diucapkan jelas sekali, diperkuat oleh intonasi dan suara yang mantap.
Konsistensinya termasuk buruk, sering plintat-plintut, membingungkan publik. Kadang tampil dengan medium high context (berputar-putar), terutama ketika belum siap dengan keputusannya.
Rasa humor kurang dan emosi cukup tinggi, bahkan bisa lepas kendali. Di mana pun dia memperlihatkan wajah yang serius; nyaris tidak pernah tertawa, maksimal hanya senyum.
Keenam presiden tersebut, Tjipta menyimpulkan, alergi terhadap kritik. Mereka tidak senang, bahkan marah, jika dikritik. Hanya saja, kadar penolakan mereka berbeda-beda.
Khusus Soekarno dan Soeharto, mereka menolak kritik, bahkan naik pitam jika dikritik, apalagi jika diolok-olok. Kritik sering dipersepsikan upaya untuk merongrong pemerintahannya. Keduanya tidak memberikan kesempatan apa pun kepada lawan-lawannya, termasuk pers yang vokal. (hal 349-352)
Presiden pertama dan kedua itu adalah tipe pemimpin otoriter. Sementara Habibie dan SBY menjalankan kepemimpinan demokratis, sedangkan Megawati dan Gus Dur lebih tepat disebut pemimpin tipe laissez-faire atau delegatif. (hal 355)
Berkaitan dengan komunikasi politik, Tjipta menilai, yang paling efektif adalah Soeharto. Di masa dia berkuasa, negara stabil, pembangunan ekonomi berhasil, dan kesejahteraan rakyat meningkat, meski semua itu harus dibayar dengan ongkos sosial ekonomi politik yang tinggi.
Soekarno cukup efektif. Sayangnya, di masa kepemimpinannya, upaya terus-menerus negara barat untuk menggulingkan kekuasaannya membuat kehidupan rakyat susah.
Yang paling tidak efektif adalah Gus Dur dan Megawati, karena ucapan dan pernyataan mereka kehilangan wibawa sehingga tidak didengar rakyat.
Komunikasi politik Habibie cukup efektif. Hambatan utama terutama disebabkan oleh keraguan publik pada kejujurannya setiap kali dia berbicara mengenai kasus KKN Soeharto dan skandal Bank Bali.
Harus diakui bahwa Habibie memimpin negara dalam situasi ultra-krisis, dan pemerintahannya berhasil melaksanakan transisi dari otoritarian ke demokrasi.
Untuk SBY, Tjipta mengkritik komunikasi politiknya buruk dan tidak efektif. Sebab, di masa pemerintahannya komunikasi politik bangsa Indonesai terasa semakin brutal dan beringas.
Anarkisme merambah ke seluruh pelosok Tanah Air. Bangsa Indonesia sepertinya tidak lagi paham apa itu “dialog”.
Tanpa tedeng aling-aling, Tjipta menuding kepemimpinan SBY yang selalu dirundung keraguan dan kebimbangan memberikan kontribusi signifikan pada kekacauan komunikasi politik di Indonesia saat ini! (hal 365-366)
Buku ini terbilang berani mengungkap dan membongkar berbagai ”cerita di balik berita” seputar komunikasi politik dan kepemimpinan para penguasa negara ini.
Dengan mengandalkan informasi dari narasumber resmi maupun informan, Tjipta mengungkap berbagai hal yang selama ini belum banyak terungkap di media massa. Misalnya, pengakuan Megawati seputar ketidakhadirannya pada pelantikan Presiden SBY, latar belakang keputusan Habibie mengadakan referendum bagi rakyat Timor Timur, dan perintah tegas Soeharto kepada Menteri Penerangan Mashuri untuk menutup beberapa koran setelah peristiwa Malari 1974.
Sayangnya, “cerita di balik berita” tersebut lebih banyak mengupas komunikasi politik dan kepemimpinan para mantan presiden. Mungkin karena yang bersangkutan sudah tak berkuasa, para mantan pejabat tinggi dan informan berani bicara blak-blakan tentang mantan bos-nya.
Sementara menyangkut komunikasi politik dan kepemimpinan SBY, tak banyak pejabat tinggi yang memberikan kesaksiannya. Mungkin mereka segan kepada SBY yang tengah berkuasa, sehingga sedikit sekali yang mau blak-blakan mengungkap ”cerita di balik berita” seputar bos-nya.
Meski demikian, kehadiran buku ini bisa membuka wawasan dan pengetahuan pembaca seputar komunikasi politik dan kepemimpinan para Presiden RI.
Tentu berbagai “cerita di balik berita” itu ditulis tanpa ada maksud mempermalukan mereka yang telah lengser maupun yang masih berkuasa. Dan sejauh ini belum ada keberatan dari para Presiden RI maupun keluarganya atas isi buku ini.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar