Kamis, 28 April 2011

Perjalanan Musik Indonesia (1945 -2009) Sebuah Repetisi Dalam Arus Siklus

Hari ini Republik tercinta telah genap 64 tahun.Jika diibaratkan manusia,maka ini merupakan usia yang telah matang dan perlahan menuju senja serta telah meraup pelbagai pengalaman yang setidaknya merupakan sosok sarat aura yang bijak.Saya jadi teringat penggalan lirik lagu “When I’m 64” nya The Beatles. When I get older, losing my hair.


Bahwa bertambahnya usia selalu berarti luruhnya tenaga,berkurangnya produktivitas,semangat dan lain sebagainya. Lalu bagaimanakah dengan gugus musik Indonesia yang telah terukir dalam perjalanan melebihi setengah abad ? Apakah terdapat pergeseran pergeseran ? Atau mungkin hanya sebuah siklus yang senantiasa berpendar dalam hitungan waktu ?.Apakah juga menandakan kian mundurnya kreativitas dalam zona musik ? Namun yang pasti apapun yang telah terjadi dalam khazanah musik Indonesia ,segala peristiwa hingga pencapaian pencapaian merupakan bagian sejarah kebudayaan dari neger ini.Dan ini jelas tak mungkin dimungkiri.Mari kita surut balik ke era 1945 saat revolusi di negeri ini tengah bergolak untuk meraih kemerdekaan.Seperti apakah iklim bermusik saat itu ?. Dalam buku “Musik Indonesia dan Permasalahannya” (Balai Pustaka,1952) yang ditulis J.A.Dungga dan L.Manik,menyimpulkan
bahwa lagu lagu yang melukiskan perjuanagn kita selama revolusi dibagi dalam 4 kategori yaitu :

1.Lagu lagu tanah air berupa mars.
Lagu lagu ini biasanya dinyanyikan pasukan-pasukan yang berlatih untuk berjuang digaris terdepan.Tak lama setelah proklamasi Indonesia berkumandang mars “Dari Barat sampai Ke Timur” yang melodi bait pertamanya memiripi lagu kebangsaan Prancis “La Marseillaise”.Dungga dan L.Manik pun menemukan kemiripan notasi melodi antara lagu “Halo Halo Bandung” dengan lagu bergaya bluegrass “When It’s Springtime In The Rockies” karya Robert Sauer dan Mary Hale Woolsey .

2.Lagu lagu tanah air bersuasana tenang.
Lagu ini temanya sama dengan yang diatas namun bernuansa tenang seperti lagu “Tanah Airku” karya Iskak,”Tanah Tumpah Darahku” karya Cornel Simandjuntak atau “Syukur” karya H.Mutahar maupun “Padamu Negeri” karya Kusbini

3.Lagu lagu percintaan.
Menurut Dungga dan Manik ,selama revolusi banyak muncul lagu lagu percintaan yang berkaitan dengan perjuangan para pejuang.Hampir semua lagu lagu ini berputar disekitar perpisahan antara seorang gadis dengan kekasihnya yang menunaikan bakti digaris terdepan,disertai perasaanbahwa kepergiannya mungkin untuk selamanya.Ismail Marzuki lalu menulis sederet lagu romansa mulai dari “Gugur Bunga”,”Selendang Sutera”,”Melati Di tapal Batas”,””Bandung Selatan Di Waktu Malam” dan banyak lagi.

4.Lagu lagu sindiran
Lagu lagu sindiran bermaksud melukiskan keburukan-keburukan dalam masyarakat kita di masa perjuangan.Lagu bertema semacam ini memang tak banyak jumlahnya dan tak dikenal siapa penciptanya.Satu diantaranya adalah lagu “Ibu ,Aku tak sudi Tukang Catut” yang menggambarkan rasa jijik seorang gadis terhadap tukang catut.Di jaman itu tukang catut dianggap sebagai sesuatu yang merugikan perjuangan.Kelak lagu lagu semacam ini mungkin kerap disebut sebagai lagu bernuansa kritik sosial seperti yang kini terdapat pada lagu lagu Slank atau Iwan Fals.

Dari illustrasi diatas yang mengungkap pola lagu-lagu Indonesia di jaman perjuangan sesungguhnya telah merefleksikan perangai lagu lagu dalam musik pop Indonesia pada era setelah kemerdekaan mulai dari era 50-an,60-an,70-an,80-an,90-an hingga era millennium sekarang ini.Benang merahnya tercetak denga sangat jelas.Setidaknya pada dua nuansa lagu seperti yang heavy maupun yang mellow,juga tematik lagu yang berpusar di sekitar lagu lagu percintaan hingga kritik sosial.

Menurut musikolog Remy Sylado,sejarah musik pop Indonesia,kehadirannya mesti dilhat secara politis.Saat itu musik pop di cengkeram Elvis Presley termasuk Indonesia.Elvis Mania pun melanda negeri yang kemudian membuat gerah pemerintah karena “kepribadian nasional” seolah tercoreng.Bung Karno dalam pidato Manipol Usdek di tahun 1959 lalu melarang budaya pop seperti rock n’roll hingga cha cha cha.Siasat pun mencuat dari benak kreatif para seniman music.Mereka menyelusupkan aroma Indonesia dalam lagu-lagu yang sebetulnya masih berafiliasi pada kultur Barat.Oslan Husein lalu menyanyikan “Bengawan Solo” karya Gesang dalam gaya rockabilly ala Bill Haley & His Comets.Lagu lagu Minang bersekutu dengan lagu lagu Latin ala Xavier Cugat atau Perez Prado lewat eksperimentasi populis yang ditancapkan Orkes Gumarang hingga Orkes Kumbang Tjari.Lalu mencuatlah lagu lagu seperti “Ayam Den Lapeh” hingga “Papaya Cha Cha”.Rasanya disinilah titik awal keterpengaruhan seniman music Indonesia terhadap musik Barat yang tak berkesudahan hingga kini.Proses pengindonesiaan karakter pop Barat berlang sung secara perlahan hingga kian deras,bermula dari era akhir 50-an hingga memasuki era 60-an dan berlanjut sampai setelahnya.

Industri musik di Indonesia sebetulnya telah bermula disini,walau belum dalam skala yang bombastik seperti saat berkuasanya rezim Orde Baru.Dalam “Ensiklopedi Musik” yang disusun Remy Sylado diulis bahwa sebelum berlangsung Perang Dunia ke II telah berdiri sebuah perusahaan rekaman piringan hitam Tio Tek Hong,salah seorang pedagang Tionghoa terkaya di Batavia. Peminat piringan hitam memang terbatas.Saat itu masyarakat lebih menikmati musik pop di panggung-panggung seperti di Pasar Gambir,Prinsen Park,Globe Garden,Stem en Wyns hingga Maison Veersteegh.

Di tahun 1954 lalu berdiri perusahaan rekaman Irama yang didirikan oleh seorang pengusaha pribumi Soejoso Karsono yang menggunakan garasi rumahnya di Jalan Theresia sebagai studio rekaman.Berbagai genre music direkam oleh Irama,mulai dari jazz,keroncong,pop hingga musik bernuansa Melayu.Artis artis yang merekam disini antara lain adalah Bubi Chen,Nick Mamahit,Titiek Puspa,Koes Bersaudara,Orkes Bukit Siguntang,Orkes Teruna Ria hingga Oslan Husein yang membawakan “Bengawan Solo” dalam gaya rockabilly.

Di tahun 1956 berdiri pula perusahaan rekaman milik Pemerintah “Lokananta” di Solo yang banyak merekam ragam budaya musik tradisional Indonesia juga keroncong,pop dan jazz.

Setelahnya kemudian berdiri Remaco,Dimita,Metropolitan Studio dan kian menggurita pada akhir 70-an hingga sekarang ini.

Dari era ke era,tampak jelas bahwa Indonesia senantiasa berada dibawah bayang bayang supremasi musik pop dunia yang dicengkeram Amerika Serikat maupun Inggeris termasuk juga Belanda.

Wajah Elvis Presley atau Pat Boone rasa Indonesia bias tersimak saat Rachmat Kartolo menyanyikan lagu “Patah Hati” yang sempat dihujat banyak kalangan sebagai lagu cengeng membabi buta.Tapi toh anehnya,banyak yang menggemari lagu semacam ini.Ketika Rachmat Kartolo menyanyikannya kembali pada tahun 1984 melalui JK Record,lagu inipun kembali mendulang sukses tiada terkira.

Mata rantai lagu lagu mendayu dayu ini pun kian panjang .Di bulan Agustus 1988 Menteri Penerangan Harmoko melarang lagu “Hati Yang Luka” karya Obbie Messakh dan dipopulerkan Betharia Sonatha.Tapi toh sebagian masyarakat meresponnya .Ketika belakangan ini band band bernuansa Melayu dengan lirik yang nyaris sama dan dangkal seperti Kangen Band,ST 12,Wali,Vagetoz,Hijau Daun,Salju,Matta dan banyak lagi merebak .Ini pun tak perlu dihardik dan dihalau.Karena lagu lagu semacam ini memang telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat Indonesia.

Berbagai upaya dan strategi untuk menghalau “pop cengeng” semacam ini memang pernah dilakukan oleh seniman musik lainnya.Even kompetisi seperti Festival Lagu Populer Indonesia yang telah digagas sejak tahun 1971 dan bertahan hingga tahun 1991 adalah salah satunya.Beberapa lagu lagu yang berhasil mencuat di ajang ini bisa dicatat seperti “Damai Tapi Gersang” (Adjie Bandy),”Lady” (Anton Issoedibyo),”Burung Camar” (Aryono Huboyo Djati/Iwan Abdurachman),”Kembalikan Baliku” (Guruh Soekarno Putera) yang berhasil meraih beberapa penghargaan dalam kategori berbeda dalam World Popular Song Festival yang di gelar oleh Yamaha Music Foundation di Budokan Hall Tokyo.

Begitu pula terobosan yang dilakukan oleh Lomba Cipta Lagu Remaja Prambors yang digagas antara tahun 1977 hingga 1996 merupakan salah satu anasir yang memperkaya khazanah musik Indonesia.Termasuk kontribusi dari sederet pemusik idealis semisal Harry Roesli,Guruh Soekarno Putera,Eros Djarot,Chrisye,Keenan Nasution,Gombloh,Leo Kristi,Ebiet G Ade,Iwan Fals,Ully Sigar Rusady,setidaknya memberikan semacam pengimbang diantara derasnya lagu-lagu pop yang memberhalakan komoditas semata.

Itu pun juga terjadi saat ini.Ketika band band seperti Hijau Daun,Vagetoz,Wali hingga Mbah Surip seolah berpacu dalam lomba pengumpul pemasukan ringback tone terbanyak,toh kita masih bisa bernafas lega,karena masih bisa menyimak dan mengapresiasikan White Shoes & Couples Company,Discus,Simak Dialog,Anda,Everybody Loves Irene,Zeke & The Popo,The Upstairs,The SIGIT,Sore,The Brandals dan masih sederet panjang lainnya.

Dan repetisi pun terus bergulir dalam siklus yang kadang tak tertebak tapi bukan sesuatu yang baru.Mau tidak mau inilah wajah musik pop Indonesia yang harus kita terima.Tanpa harus melempar hujatan yang tak perlu.Kita pun harus bangga,karena musik Indonesia benar benar telah menjadi tuan rumah di negeri sendiri .Sesuatu yang dahulu hanya sebatas wacana belaka,kini terpampang di depan mata.

Suara Gombloh pun seolah mengalun lagi :
Biarpun bumi bergoncang
Kau tetap Indonesiaku
Andaikan matahari terbit dari barat
Kaupun tetap Indonesiaku

(Tulisan ini dimuat di majalah Trax edisi Agustus 2009)


http://dennysakrie63.wordpress.com/2011/02/20/perjalanan-musik-indonesia-1945-2009-sebuah-repetisi-dalam-arus-siklus/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar