Kamis, 28 April 2011

Obsesi Jadi Wartawan AKTUIL: pengakuan Bens Leo

1970. Tahun terakhir saya duduk di bangku SMA di Jakarta, saya aktif menghidupkan majalah sekolah. Salah satu referensi bacaan bersifat populer saat itu adalah majalah AKTUIL yang terbit di kota dengan image modis, Bandung. Sebagai pembaca AKTUIL, saat itu saya favorit pada pemikiran seni budaya Remy Sylado – antara lain galeri Puisi Mbeling dan cerber Orexas, juga gaya bahasanya yang lugas, ngepop dengan aneka kosa kata baru, adaptasi dari bahasa daerah. AKTUIL kala itu juga memiliki reporter andal yang berkelana di negeri luar, seperti almarhum Denny Sabri dan Buyung. Sementara dari sisi tampilan berupa layout dan gagasan memberi bonus bagi AKTUIL lovers, ide-ide jenial Maman HS dkk berupa gambar seterika, tulisan-tulisan lucu, super poster, menjadikan saya terobsesi ingin bergabung sebagai bagian dari majalah pop AKTUIL. Sebuah mimpi dari anak SMA yang sejatinya boleh-boleh saja, karena saya merasa memiliki bakat menulis, meski saat itu studi formal saya ‘terperangkap’ ke kelompok siswa Paspal ( ilmu Pasti Alam ).

1971. Tatkala saya gugur memasuki pendidikan AKABRI, terlambat mendaftar masuk ke pendidikan penerbang di Curug, dan merasa berat untuk meminta uang kuliah dari Ibu saya yang single parent ( ayah wafat sebagai Pegawai Negeri tahun 1968 ) - obsesi lama menjadi wartawan – lebih khusus lagi wartawan musik, dan sangat khusus sebagai bagian dari barisan reporter AKTUIL, tiba-tiba menggelora.

Test case pertama yang saya lakukan sebagai ‘wartawan lepas’ adalah mewawancarai gembong musik Koes Plus, almarhum Tonny Koeswoyo. Waktu itu saya seperti memiliki nyali besar karena tak ada jalan lain untuk mencari uang kecuali menjual kemampuan menulis yang terasah sejak SMA. Tak terbayangkan, bagaimana mungkin seorang anak muda dapat menembus tembok kompleks Koes Bersaudara di Jl. Haji Nawi Jakarta, hanya bermodal buku tulis sekolah dan bolpoint, tanpa modal tape recorder macam wartawan professional. Tapi beruntung, Tonny Koeswoyo menyediakan waktu buat ‘mengobrol’. Ia meminta pekan depan datang lagi. Diajak ngobrol lagi. Tentang apa saja. Perihal musik, terutama musik Koes Bersaudara, juga musik Koes Plus. Tentang filosofi hidupnya sebagai Moslem, tapi mengerti tentang Alkitab.

Singkat kata, baru pekan keempat, Tonny Koeswoyo benar-bener memberi ilmu jurnalistik pada saya, sekaligus mau menceritakan sejarah Koes Bersaudara yang – katanya – baru diceritakan pada saya, sebagai wartawan pemula, bahkan masih amatiran. “Sejatinya, menulis pada dunia jurnalistik sama dengan peran saya sebagai pencipta lagu, “ ujar Tonny Koeswoyo pada sebuah siang yang terik, hari Minggu, sekitar Juni 1971. “Tulis semua yang saya ceritakan sebagai bahan berita kamu, kasih sedikit opini, lalu kirim ke media cetak yang kamu ingini. Orang bilang, tulisan yang bagus adalah yang bisa mengungkap segala perasaan, suka, duka, mencatat satu kebenaran cerita dari respondennya, lalu kasih opini pribadi tentang topic yang ditulis. Tugas lain dikuasai oleh editor media itu, “ masih pesan Tonny Koeswoyo.

Singkat kata, semua pesan almarhum saya catat di buku tulis, kemudian saya salin kembali melalui mesin tik merk Brother yang saya beli second hand dari tukang loak pasar Mayestik, Jakarta. Dan hasilnya – sepekan setelah saya kirim ke mingguan Berita Yudha Sport & Film – karya tulis saya berjudul ‘Sejarah Koes Bersaudara’ dimuat sebagai headline dengan memuat nama penulis dengan nama asli saya : Benny Hadi Utomo. Waktu itu, sekitar Agustus 1971, Berita Yudha Sport & Film termasuk media cetak mingguan yang terpandang di Indonesia dan berada dibawah Yayasan milik TNI AD.

Kirim Tulisan ke Majalah AKTUIL

Kaget, haru, terpana, nggak percaya merupakan ‘haru biru’ perasaan saya melihat talenta menulis dari Tuhan ini terhidang di halaman pertama media cetak terpandang. Saya beli 8 eksemplar Koran mingguan itu, saya kirim ke saudara dan teman saya yang tinggal di Madiun ( saya lulusan SMP 3, tatkala ayah masih menjadi Patih di kota ini ), juga ke Surabaya – asal ayah saya, atau ke saudara Ibu di Ngawi, Jatim. Bangga tentu. Profesi aslikah ini? Pertanyaan ini kelihatan naïf bagi pemula yang langsung mampu menulis untuk headline media cetak terpandang, tapi bagi saya tidak. Sebuah, obsesi saya : jadi bagian dari reporter majalah AKTUIL yang elitis!

Dua pekan setelah Berita Yudha mencari saya untuk diberi tugas menjaga gawang musik di rubrik Seni Budaya ( juga memberi honor yang ‘wah’ jumlahnya ), saya ambil keputusan untuk melapor ke Mas Tonny Koeswoyo lagi. Ia ‘harus bertanggung jawab’ pada keterlanjuran saya menjadi ‘wartawan beneran’ ini. Mas Tonny lalu memberi referensi untuk menjumpai Panjaitan Bersaudara ( Panbers ) yang menetap di kawasan elit Jl. Hang Tuah Raya Kebayoran Baru. ‘Surat sakti’ Tonny Koeswoyo buat Benny Panjaitan memudahkan saya mewawancarai band kedua yang memulai rekaman lagu karya sendiri di tahun 1971 dengan hits single ‘Akhir Cinta’ itu. Benny, Hans, Doan dan Asido Panjaitan segera menjadi sahabat kedua saya, yang menyebabkan saya dikenali sebagai wartawan musik muda Indonesia. Bagian kedua dari pertemuan saya dengan Tonny Koeswoyo dan wawancara pertama dengan Panbers itulah yang ujungnya saya kirimkan ke Majalah AKTUIL di kantor pisatnya di Lengkong Kecil, Bandung………..Dan, astaga : dimuat meski kali ini saya memakai nama baru, Bens Leo. ( Nama Bens Leo mulai saya pakai sejak klas 3 SMA, takala saya kecewa mengetahui anjing herder sahabat saya yang tinggal di kawasan Menteng dikasih nama Benny ).

Sedikit menabrak kode etik jurnalistik, karena saya memegang rubrik musik di Berita Yudha Sport & Film, tapi sekaligus saya mengirim naskah ke AKTUIL, yang kian sering sejak tahun 1972, akhirnya saya putuskan untuk memprioritaskan menggarap lahan bisnis tulis menulis di Majalah AKTUIL, bagian dari obsesi lama saya. Beberapa tulisan pertama saya untuk AKTUIL yang mulai panjang formatnya, bahkan mulai ‘enak dibaca’ karena mulai ada komentar dari pembaca AKTUIL, antara lain tatkala saya mulai membahas eksistensi beberapa band yang cukup punya nama di tahun 1970-an, antara lain Rasela, Gipsy, Barong’s Band, juga liputan tentang Festival Lagu Pop Indonesia. Bahkan pada tahun 1974, saya mulai ditunjuk sebagai anggota Dewan Juri Festival Lagu Pop Indonesia yang bermuara di World Popular Song Festival di Tokyo itu. Kedekatan sata dengan institusi kompetisi musik dan lagu Internasional di bawah grup raksasa Yamaha Music, ditambah kenyataan saya menjadi reporter majalah AKTUIL inilah, yang menyebabkan pada tahun 1976, atas nama pribadi dan AKTUIL, saya diundang sebagai satu-satunya wartawan musik Indonesia yang meliput World Popular Song Ferstival Tokyo 1976, mendampingi Guruh Soekarno ( composer ), Grace Simon ( penyanyi ) dan Indris Sardi ( arranger dan conductor orkestra Jepang ), dengan lagu karya Guruh berjudul ‘Renjana’. Peristiwa inilah, - menurut saya – yang kian mengukuhkan kedekatan saya dengan institusi media cetak AKTUIL yang elitis sebagai majalah pop. Selanjutnya saya meliput WPSF Tokyo pada tahun 1978, 1982 dan 1984.

Pesan Para Senior AKTUIL

Kala itu mungkin saya menjadi wartawan AKTUIL yang termuda, yang haus belajar dari para senior. Menjelang berangkat ke Jepang meliput WPSF 1976, di kantor AKTUIL Bandung, saya menghadap boss besar AKTUIL, mas Toto Rahardjo. Beliaulah yang ‘meloloskan’ banyak uang saku yang nggak usah dipertanggung-jawabkan, menyerahkan tustel canggih untuk alat liputan - dan dari kang Maman selaku Pem Red, saya mendapat tugas untuk mendapat berita eksklusif dari Tokyo. Tugas itu saya jawab dengan mewawancarai Andre Popp, pemenang sejumlah medali di WPSF, juga pencipta lagu legenda ‘Love is Blue’.
Dari Bang Remy Sylado, saya banyak dikritik tentang ‘wawasan musik’ dan filosofi seni budaya. Orang ini juga mendesak saya agar memiliki karakter melalui ‘gaya bahasa’. Saya juga bersahabat dengan rekan-rekan waertawan lain, termasuk anggota redaksi, yang –antara lain – bertugas membabat habis tulisan-tulisan saya yang tak ‘layak muat’ di awal menjadi reporter lepas AKTUIL yang bertugas di Jakarta. Sahabat saya itu antara lain kang Billy Silabumi, Maman Sagit, Odang Doank dan berkenalan dengan maestro wartawan musik asing AKTUIL, almarhum Denny Sabri. Orang satu ini memberi inspirasi, seorang reporter musik, juga layak untuk jadi talentscout. Pencari bintang inilah yang akhirnya menjadi bagian dari kehidupan saya diluar sebagai jurnalis, ujungnya berhasil memproduseri album perdana Kahitna ‘Cerita Cinta’ pada 1993.

Teman-teman AKTUIL yang selalu bersifat kekeluargaan, menjadikan saya yakin, media ini tepat menjadi kawah caderadimukanya para penulis muda untuk berguru. Juga pada korespondennya yang capabelitasnya dahsyat, seperti Mas Ipong Constatinople alias Broto Supono dengan basecamp di Bali. Kang Hasanta, fotografer di Jakarta, atau Millur Milardi ( Semarang ) dan banyak lainnya. Mereka semuanya adalah inspirator bagi saya. Satu kebahagiaan luar biasa, tatkala seluruh awak AKTUIL bisa berlibur bersama di Bali, satu hal yang terasa ‘mewah’ pada tahun 1980-an itu.

Bikin Cover Story sampai Jadi Juri Internasional

Beberapa tugas lain yang saya emban selama bergabung di AKTUIL adalah, mengontak God Bless sebagai opening act Deep Purple untuk konser akbar di Stadion Utama Senayan, Desember 1975. Ambil bagian dalam diskusi musik di TVRI sebagai bagian dari konser musik rock Gedung Sate 1975. Sejak awal Lomba Cipta Lagu Remaja digelar Prambors tahun 1977, saya selalu menjadi bagian dari anggota Dewan Juri sampai kegiatan itu lenyap. Berkat AKTUIL pula saya bertugas jadi Anggota dan kadang Ketua Dewan Juri Festival Lagu Rock Indonesia versi Log Zhelebour, dari tahun 1985 hingga kini ganti nama jadi Gudang Garam Rock Competition 2007.

Tugas penting lainnya adalah, tatkala saya mulai dipercaya untuk membuat cover story, yang ujungnya AKTUIL dapat memuat karya foto saya sebagai cover, poster, dan tulisan dan opini musik saya yang dimuat berlembar-lembar di halaman Majalah AKTUIL yang prestisius. Itu telah terjadi sejak ujung tahun 1970-an hingga jelang AKTUIL dan crewnya berpisah di akhir tahun 1980-an. Beberapa nama yang pernah saya foto sebagai cover adalah Nomo Koeswoyo, Achmad Albar dan banyak lagi. Mungkin sampai 10-an cover story telah saya buat untuk AKTUIL tercinta. Jangan terkejut, foto cover itu pada awalnya hanya saya potret memakai kamera kotak Yasica dengan film slide 6×6. Menggelikan sekali tatkala Nomo Koeswoyo harus teriak-teriak ‘udah belum!’ dari atas mobil bobrok di tempat pembuangan bangkai mobil di By Pass, Jakarta di tengah terik matahari, karena dia tidak mendengar bunyi ‘klik’ dari kamera butut saya………

Setelah AKTUIL ‘lama’ wafat, saya masih menjadi juri di kompetisi lagu tingkat ASEAN di Singapura, Anugerah Planet Music 2003, dan tahun 2005 mewakili Indonesia, saya ditunjuk menjadi juri World Oriental Music Festival Sarajevo, Bosnia, yang akhirnya mengantar Ully Harry Rusady bersama anggota kelompoknya berjumlah 9 orang, memenangi penghargaan Best Performer.

Pada tahun 2000, ‘dirayu’ Pak Maxi Gunawan, seorang music lover dan penggemar majalah pop, saya diajak membangun kerajaan bisnis media cetak musik, kemudian dikasih nama NewsMusik. Setahun kemudian, kang Buyunk senior saya di AKTUIL ikut bergabung di sini. Sebagai Pem Red sekaligus Direktur Produksi ternyata saya gagal melahirkan obsesi lama, menjadikan NewsMusik sebagai embrio AKTUIL Baru, ujungnya saya mengundurkan diri pada 2003 dan menjadikan NewsMusik tutup buku pas 3 tahun usianya.

Kini – memasuki tahun 2007 – tatkala semua awak AKTUIL telah memasuki ‘kepala 5’ bahkan ‘kepala 6’, kebanggaan itu boleh tetap dikenang. Apalagi bagi saya, AKTUIL adalah jalan hidup yang diberikan Tuhan, di tengah kegalauan masa depan selepas SMA. Karena itulah, sampai kini saya tetap dapat hidup dari dunia jurnalistik, meski juga memasuki ruang kerja awak televisi, atau sebagai produser musik, dan talentscout. Seperti Mas Toto Rahardjo, Bang Remy Sylado, Kang Billy, Kang Odang, Kang Man HS, Kang Maman Sagit, atau sahabat saya di Bali, Mas Ipong Constantinople* yang kabarnya lagi kurang sehat. Saya gembira bisa menjumpai rekan-rekan lama, para inspirator, yang hari ini berkumpul kembali menerbitkan cerita ini untuk AKTUIL lovers. Saya yakin ada gunanya.


* catatan: saat ini Sdr. Ipong telah wafat setelah sakit cukup lama. Selamat jalan kawan.

Sumber Aktualista.com http://aktuilista.com/blog/2008/09/12/obsesi-jadi-wartawan-aktuil/

1 komentar:

  1. Tulisan Bung Bens di Majalah Aktuil dll banyak memberikan informasi buat saya.. Salut Bung!

    BalasHapus