Jumat, 22 April 2011

Singkawang Dulu dan Sekarang, Kotanya Etnis Tionghoa


Kota Singkawang mungkin termasuk kota dengan keunikan tersendiri. Di sana etnis Tionghoa cukup mendominasi. Apa yang berbeda antara Kota Singkawang dulu dan sekarang? Benarkah pembauran etnis Tionghoa dengan etnis yang lain masih menjadi masalah di sana? PRIA itu terlihat sibuk di kedainya di Jalan Simpang Seribu Satu, Kota Singkawang, Kalimantan Barat.
Dia dikenal dengan panggilan Haji Aman. Tetapi, nama aslinya adalah Chia Jung Khong. Pria 48 tahun itu sedang memasak mi ayam untuk para pelanggan di kedainya. ’’Ya beginilah sehari-hari saya,’’ kata Aman kepada Pontianak Post (INDOPOS Group). Aman adalah salah seorang warga Tionghoa yang lahir dan besar di Kota Singkawang. Sejak berusia 24 tahun, dia memeluk Islam. Meski telah memeluk Islam, Aman tetap mengikuti tradisi warga Tionghoa di Singkawang ketika merayakan Imlek.
’’Imlek adalah tradisi keluarga. Ada makan besar, saling mengunjungi, dan lainnya. Jadi, tradisi itu tak bisa dilewatkan begitu saja,’’ ujar pria yang juga membuka usaha lain berupa bengkel cat itu. Dia pun tetap mempertahankan tradisi memberikan angpau kepada keluarganya. ’’Saya sudah menyiapkan angpau untuk keponakan,’’ kata bapak tiga anak dan seorang cucu itu. Dia menambahkan, kehidupan antaretnis dan antar pemeluk agama di Kota Singkawang semakin lama semakin cair. Misalnya, warga Singkawang akan saling mengunjungi saat Imlek maupun Idul Fitri. ’’Imlek tak hanya dirayakan warga Tionghoa. Imlek sudah menjadi hari besar milik warga Singkawang,’’
tutur pria yang juga ketua PITI (Persatuan Islam Tionghoa Indonesia) Cabang Singkawang itu. Berdasar pengamatan Pontianak Post di Kota Singkawang, suasana menyambut Imlek di sana sudah mulai terasa. Hampir setiap rumah berhias lampion, termasuk di jalan-jalan utama. Tak sedikit pula yang memasang ’’maskot’’ Imlek tahun ini, berupa patung atau boneka kelinci. ’’Ada yang membeli, ada juga yang bikin sendiri,’’ ujar perempuan Tionghoa, Susi Wu. Yang membedakan perayaan Imlek tahun ini dengan tahun-tahun sebelumnya, Kota Singkawang diramaikan pohon mei hwa yang diyakini sebagai pohon keberuntungan. Pohon itu dirangkai sendiri oleh warga di sana. Bahkan, bunganya dipesan dari Malaysia. ’’Kami memesan bunga mei hwa dari Malaysia. Kebetulan juga kakak ada di Malaysia,’’ kata Ana, yang tinggal di Jalan Nyiur. Bahkan, dalam perayaan Cap Go Meh, Lapangan Kridasana, Singkawang, akan disulap menjadi hutan mei hwa.
Lantas, apa yang berubah dari wajah Singkawang saat ini? Informasi yang dihimpun dari berbagai sumber menyebutkan, saat ini di sana terjadi pergeseran struktur masyarakat. Jika sebelumnya warga Tionghoa jarang sekali bekerja di instansi pemerintahan atau terjun ke dunia politik, belakangan ini kondisinya tak lagi seperti itu. Etnis Tionghoa yang menjadi PNS (pegawai negeri sipil) semakin banyak. Begitu pula mereka yang menjadi politisi Bahkan, ketua DPRD Kota Singkawang juga dari etnis Tionghoa. Dia adalah Tjhai Chui Mie, Dari segi budaya, sejarah menunjukkan bahwa etnis Tionghoa di sana tidak lagi memiliki darah murni Tiongkok.
Semua sudah berasimilasi dengan etnis lain sehingga generasi saat ini mulai banyak yang berasal dari etnis campuran. Pengamat budaya Singkawang Iphenk Haemes menjelaskan, asimilasi atau kawin campur antara pribumi dan nonpribumi di Singkawang mulai dulu memang ada, namun terbatas. Hubungan interaksi sosial dan ekonomi di masyarakat juga masih ada sekat yang menjadi penghalang. ’’Apalagi, selagi mereka (warga Tionghoa) masih membedakan antara fan nyin (dibaca pan nyin –sebutan untuk pribumi) dan dong nyin (dibaca tong nyin –sebutan untuk pendatang/ Tionghoa), sulit rasanya pembauran akan terwujud,’’ ungkapnya. Persepsi lain soal dinamika pribumi dan nonpribumi diungkap Samsul Hidayat, peneliti Tatung Singkawang, yang juga kandidat doktor di UIN, Jogjakarta. Menurut dia, dinamika etnis Tionghoa dengan etnis pribumi sudah berlangsung lama, terutama etnis Dayak.
Bahkan, saat banyak penambang emas mendirikan kongsi atau permukiman di Monterado dan Mandor, orang Tiongkok yang datang rata-rata laki-laki, kemudian menikah dengan gadis-gadis Dayak. Sementara perkawinan antaretnis Tionghoa dan Melayu terhitung jarang, kecuali beberapa yang akhirnya diklaim Melayu. Wali Kota Singkawang Hasan Karman menilai, pembauran dan kawin campur sudah lama terjadi di Kalimantan Barat (Kalbar). Awal kedatangan etnis Tionghoa jauh sebelum NKRI terbentuk. Kedatangan mereka tidak membawa istri dan menetap sehingga terjadilah kawin campur. Kelahiran generasi pertama dari hasil kawin campur itu kemudian melahirkan generasi dan identitas bahwa mereka mengasosiasikan diri. Setelah komunikasi transportasi laut mulai terbuka, datanglah imigran Tionghoa lain yang membawa keluarga.
Beberapa generasi kawin campur yang terbentuk kini mengidentifikasi diri sebagai orang Dayak, Melayu, atau tetap sebagai Tionghoa atau etnis lainnya. ’’Pembauran jelas harus alami dan tidak dipaksakan,’’ katanya. Yang jelas, kata dia, sebagai WNI, setiap orang punya hak dan kewajiban yang setara dalam semua aspek kehidupan. Jadi tidak boleh ada diskriminasi. Generasi tua harus berani menjelaskan kepada keturunannya bahwa kita ini tidak ada lagi berdarah murni. ’’Dengan demikian, generasi muda akan sadar bahwa kita bersaudara sehingga bisa menghargai keberagaman dalam kontek persaudaraan. Minimal kita yakin, kita ini masih keturunan Adam dan Hawa,’’ tuturnya. (zulkarnaen fauzi/ hari kurniathama/jpnn/c4/kum)
http://www.indopos.co.id/index.php/component/content/article/67-indo-reviews/5083-singkawang-dulu-dan-sekarang-kotanya-etnis-tionghoa.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar