Minggu, 17 April 2011

Penagih Utang Bayaran


Liputan6.com, Jakarta: Tahun demi tahun berlalu. Roda perekonomian di Tanah Air berputar cepat seiring kebutuhan hidup masyarakat. Masyarakat pun semakin konsumtif. Industri perbankan cepat tanggap melihat fenomena ini.

Mengakomodasi kebutuhan finansial masyarakat, sejumlah bank gencar menawarkan berbagai kemudahan bagi nasabahnya. Salah satunya, kartu kredit, yang belakangan jadi buah bibir masyarakat.

Fasilitas pinjaman dari kartu kredit terkadang dinikmati pemiliknya secara ugal-ugalan membuatnya terlilit utang. Saat itulah kesulitan muncul yang bahkan terkadang berujung bencana.

Irzen Okta, misalnya. Salah satu nasabah kartu kredit itu tewas saat utang kartu kreditnya ditagih. Irzen diduga tewas setelah mengalami kekerasan oleh penagih utang alias debt collector di ruang interogasi bank yang bersangkutan [baca: Kasus Irzen Octa Membuat Citra Citibank Buruk].

Dugaan kekerasan fisik terhadap Irzen tak bisa dipungkiri lagi. Penyelidikan polisi menggiring para penagih utang yang terlibat dalam kematian Irzen menjadi tersangka. Namun, tragedi itu tak serta merta membuat jera penagih utang.

Di Probolinggo, Jawa Timur, dua orang warga dikeroyok lima debt collector. Nasabah dianiaya karena tak membayar tanggungan utangnya selama beberapa bulan. Lebih mengerikannya, gerombolan debt collector itu menggunakan senjata tajam.

Meski kerap dituding menggunakan kekerasan, toh bisnis jasa penagih utang tampaknya masih dibutuhkan. Buktinya, agen-agen penyedia jasa tenaga debt collector tetap tumbuh subur. Dunia maya jadi salah satu sarana mereka mempromosikan dan memasarkan jasa.

Seorang debt collector tak selalu langsung diterjunkan ke lapangan. Pertemuan dengan orang yang ditagih bisa dilakukan di mana saja sesuai perjanjian. Seolah menyangkal tuduhan stereotip yang sering dialamatkan pada debt collector, sang penagih utang mengaku tidak melakukan intimidasi berat kepada pengutang yang kooperatif.

Besarnya utang yang harus dibayar bisa dinegosiasikan. Jika terjadi kesepakatan, perjanjian hitam di atas putih mutlak dilakukan. Namun, tak selamanya debt collector bisa bersikap lunak terhadap si pengutang. Karena ia akan terus diteror tiap harinya.

Dalam proses pelunasan di bank pun, ada ruangan khusus yang digunakan untuk mengintimidasi nasabah--seperti yang dialami Irzen Octa. Tak hanya menyiksa mental, bahkan dapat membuat nasabah harus dirawat di rumah sakit. Selama ini, aksi tak menyenangkan dan intimidasi para debt collector tak pernah tersentuh hukum. Namun kini, keberadaannya dalam dunia perbankan mulai diusik.

Bank Indonesia sebagai pemegang kendali dunia perbankan melalui DPR diminta bertindak menertibkan pihak ketiga di kegiatan perbankan. Namun upaya BI itu harus diikuti pengawasan dari bank yang bersangkutan terhadap pihak ketiga. Bank yang melanggar pun bisa dijatuhi hukuman berat.

Perubahan kebijakan penagihan utang menggunakan pihak ketiga tengah diupayakan pemerintah. Apakah akan cukup adil bagi semua pihak? Kita tunggu saja.(ASW/SHA)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar