Selasa, 12 April 2011

N250 Vs ATR72-500: Mimpi Habibie yang Kandas


Agustus 1985. Saat mendapat kesempatan berkumpul di Jakarta bersama pelajar teladan yang lain dari seluruh kabupaten dan kotamadya se Indonesia, saya mendapat oleh-oleh dari Panitia 40 Tahun Indonesia Merdeka saat itu. Yaitu sebuah buku yang berisikan tulisan-tulisan wartawan mengenai kesuksesan penerbangan perdana CN235 yang diberi nama “Tetuko” oleh Pak Harto. Tetuko adalah nama kecil dari Gatotkaca, kesatria yang bisa terbang itu. Penerbangan perdana ini begitu berkesan karena walupun masih menyandang huruf CN (berarti Casa & Nurtanio), CN235 yang diterbangkan itu sebagian besar komponennya memang sudah diproduksi dan dirakit di IPTN (atau PT Dirgantara Indonesia sekarang). CN235 memang kemudian tercatat sebagai pesawat yang laris, entah versi sipil maupun militernya, dengan penggunanya tersebar di Malaysia, Korea Selatan, Thailand bahkan Amerika Serikat (US Coast Guard), termasuk yang digunakan di dalam negeri sendiri.


10 Agustus 1995. 10 tahun setelah penerbangan perdana CN235, mimpi Pak Habibie untuk memproduksi dan menerbangkan pesawat yang benar-benar made in Indonesia akhirnya terwujud juga. Sebuah pesawat berbaling-baling dengan teknologi fly by wire yang mendahului jamannya, diberi kode N250 dan dinamai Gatotkaca oleh Pak Harto dengan kapasitas 70-an penumpang akhirnya berhasil terbang selama 55 menit di langit kota Bandung dengan pilot penguji Erwin Danuwinata. Sebuah bukti terpampang sudah, bahwa negara miskin yang tiada dikenal itu memang mampu memproduksi pesawat yang bisa diterbangkan.

Ide membuat N250 ini didasari oleh visi Pak Habibie bahwa beberapa tahun ke depan penerbangan di Indonesia akan semakin ramai. Angkasa wilayah luas dari Sabang sampai Merauke ini suatu saat pasti akan diramaikan oleh burung-burung besi yang terbang untuk memobilisasi manusia dari satu tempat ke tempat yang lainnya. Karena penerbangan akan ramai maka pasti membutuhkan pesawat dalam jumlah yang besar. Pesawat jet diprediksi akan banyak digunakan untuk menjelajah kota-kota yang diperlengkapi dengan bandara dengan landasan pacu panjang. Tetapi pesawat berbaling-baling diprediksi tetap tidak bisa dihilangkan, malah kebutuhannya akan semakin meningkat untuk melayani kota-kota yang hanya punya bandara perintis dengan landasan pacu pendek.

Berdasarkan visi inilah N250 diciptakan. Pesawat ini menggunakan mesin turboprop 2439 KW dari Allison AE 2100 C buatan perusahaan Allison, mampu terbang dengan kecepatan maksimal 610 km/jam (330 mil/jam) dan kecepatan ekonomis 555 km/jam yang merupakan kecepatan tertinggi di kelas turprop 50 penumpang. Ketinggian operasi adalah 25.000 kaki (7620 meter) dengan daya jelajah 1480 km. Karena itu cocok digunakan untuk operasional di Kalimantan maupun di Indonesia bagian timur. Saingan pesawat ini adalah ATR42-500, Fokker 50 dan Dash 8-300. Saat itu perusahaan Fokker Belanda baru saja bangkrut sehingga N250 akan kehilangan 1 kompetitornya, sebuah insting bisnis Pak Habibie yang sebenarnya oke juga. Dibandingkan dengan pesaingnya, N250 lebih canggih karena dilengkapi dengan teknologi fly by wire yang cukup baru di tahun 1990-an tersebut.

Sebagai calon insinyur yang akan lulus tahun 1996, saya cukup berharap pesawat tersebut akan melangkah ke produksi massalnya sehingga siapa tahu saya bisa ikut serta di dalamnya. Banyak teman yang akhirnya masuk bekerja di IPTN saat itu, terkadang malah menjadikan tanda tanya apakah dengan banyaknya pegawai permanen seperti itu perusahaan pelat merah ini bisa efisien menjalankan usahanya. Tanda tanya semakin besar saat alih-alih fokus pada sertifikasi N250, IPTN malah meluncurkan proyek baru untuk membuat pesawat jet N2130, sebuah blunder yang sampai sekarang masih saya sesali. Ditambah lagi dengan banyaknya isu berseliweran menyangkut in-efisiensi di tubuh IPTN termasuk pemakaian dana reboisasi sebagai suntikan dana ke perusahaan dan juga pemotongan gaji pegawai negeri yang diklaim sebagai saham N2130, saya semakin antipati dengan proyek IPTN ini.

Tahun 1997, Indonesia kolaps lalu kita masuk terjebak dalam program IMF yang salah satu isunya adalah memangkas subsidi negara ke perusahaan negara semacam IPTN. Reaksi pertama saya saat itu adalah senang, negara tidak perlu lagi mensubsidi proyek pesawat seperti ini, mendingan uangnya digunakan untuk membangun pertanian saja. Saya tidak sadar bahwa ternyata kita dijebak oleh dunia internasional yang tidak suka Indonesia menjadi pemain baru dunia kedirgantaraan itu. Terus terang, reaksi senang itu sekarang berubah menjadi ratapan.

Dalam proses sertifikasi oleh FAA, berdasarkan pembicaraan dalam beberapa blog, N250 tersandung dalam audit mengenai standarisasi produksi komponen yang digunakan dalam N250. Kalau mau disertifikasi lagi, beberapa komponen harus diganti dengan proses produksi yang terdokumentasi secara standar. Tentu saja penggantian komponen ini perlu uang, sementara subsidi negara telah terlanjur dicabut. Kalau ada karyawan atau alumni IPTN silakan mengkonfirmasi berita ini ya. Akhirnya berhentilah proyek ini sampai PT DI menemukan investor baru untuk melanjutkannya memproduksi prototipe yang siap disertifikasi secara nasional, lalu oleh badan sertifikat Eropa (JAA) dan kemudian Amerika Serikat (FAA). Ada rumor bahwa SBY menyetujui proyek ini dilanjutkan dengan asistensi dari Pak Habibie, entah rumor ini benar atau tidak karena lenyap begitu saja oleh berita mengenai Century serta Cicak vs Buaya yang lalu. Entah………………..


Tahun 2009 diberitakan secara nasional bahwa Lion Air telah memesan 20 pesawat berbaling-baling ATR72-500 dari ATR Perancis. Pesawat ATR72 berkapasitas 70 tempat duduk ini akan dioperasikan oleh Wings Air melayani Ambon, Ternate, Medan, Bandung, NTB, NTT, Kalbar dan Kaltim dengan pusat operasi di Manado. 3 pesawat sudah datang langsung dari Tolouse Perancis, akhir tahun lalu dan sisanya akan menyusul sampai tahun 2011 nanti. Sebuah insting bisnis penerbangan yang lumayan dari Lion Air dengan mengoperasikan pesawat baru seperti ini.

Ngomong-ngomong tentang ATR72-500, ini pesawat terbaru hasil pengembangan ATR42, saingan N250 seandainya bisa diproduksi massal. Saat saya menjelajah Google, saya menemukan bahwa ATR72-500 sudah banyak digunakan oleh maskapai penerbangan internasional entah di Asia Pasific, Afrika, Eropa maupun Amerika.

Ternyata benar juga mimpi, visi dan prediksi Pak Habibie 20 tahun yang lalu bahwa bisnis penerbangan akan semakin semarak dan N250 bisa menjadi salah satu pilihan dalam bisnis pesawat berbaling-baling itu. Seandainya saja saat itu N250 sudah berhasil disertifikasi, lalu seandainya saja IPTN dioperasikan dengan manajemen yang efisien dan seandainya saja tidak ada krisis moneter, maka N250 pasti sudah akan menjadi pilihan dari Lion Air dan juga maskapai-maskapai penerbangan dari negara lain. Bayangkan saja, bila Lion Air memesan 20 pesawat saja, PT DI akan bisa memelihara asap dapurnya selama 3 - 10 tahun ke depan, belum lagi bila ada pesanan dari negara lain.

Sayang, mimpi besar Pak Habibie ini kandas sudah. Kita sudah kehilangan 13 tahun penuh kesia-siaan, sementara para insinyur alumni IPTN sudah tersebar di seluruh industri dirgantara dunia. Bagi mereka, para insinyur itu, tidaklah terlalu menjadi masalah, sepanjang kompetensi mereka dihargai tinggi oleh industri pengguna otak dan ketrampilan mereka. Tapi bagi kita sebagai bangsa, lagi-lagi terbukti bahwa kita ini adalah bangsa kalah, yang tidak pernah malu mengakui bahwa sudah kehilangan harga diri dengan lawakan politik pembesar kita. Dan kita perlu paling tidak 3 generasi lagi untuk menebus kebodohan ini.
Akankah N250 bisa terbang kembali ???

http://teknologi.kompasiana.com/

1 komentar:

  1. Saya sepakat dengan pemikiran bapak, bahwa akhirnya secara tragis kita harus mengakui bahwa kita terkesan menjadi bangsa pecundang. Semua bermula dari para badut politik yang lebih senang menjadi seorang pecundang asal pegang kekuasaan dan harta berlimpah...masyaAllah..Semoga ini menjadi bahan pembelajaran yang amat berharga bagi generasi berikutnya, dan saya yakin kita bisa menghasilkan karya yang tak kalah dengan bangsa lain....aamiin

    BalasHapus