Lembaga pemasyarakatan atau akrab dikenal sebagai penjara sejatinya adalah tempat menjalani masa hukuman. Ruang-ruang sel di dalamnya disesaki oleh para narapidana yang sudah mendapatkan putusan tetap atau menunggu vonis hakim.
Semua seperti diasingkan di balik terali besi untuk membayar perbuatan yang dianggap melanggar hukum. Tidak ada ingar bingar seperti kehidupan di luar penjara. Semua hanya teralis besi, tembok, dan lantai yang dingin.
Salah satu hiburan bagi penghuni penjara adalah saat jam berkunjung, yakni kedatangan sanak keluarga, kerabat, atau kekasih. Saat membesuk, semua identitas pengunjung dicatat. Barang bawaan mereka yang dinilai mencurigakan dititipkan pada petugas. Tidak mau kecolongan, petugas lembaga pemasyarakatan memeriksa semua pengunjung dengan ketat.
Demi memuaskan rasa rindu dengan orang yang disayang, tahanan diberikan ruang tunggu. Bagi yang memiliki kekasih atau sudah menikah, ajang besuk digunakan semaksimal mungkin untuk bermesraan. Ada yang berpegangan tangan, berpelukan, berciuman, hingga bercumbu.
Semua memang bisa terjadi. Sekilas tidak ada yang berbeda dengan pertemuan suami dengan istrinya atau lelaki dengan kekasihnya. Namun setelah setelah disigi lebih jauh, ternyata tidak ada teman atau kerabatnya yang tengah ditahan di penjara. Dan dia adalah seorang gadun alias pekerja seks komersial (PSK).
Dari keterangan yang diperoleh, perempuan berparas molek itu mendapat panggilan khusus melayani seorang narapidana di sel penjara. Modus yang digunakan tergolong rapi dan terstruktur. Tak perlu menunggu lama, si klien yang notabene adalah napi menemui perempuan yang sudah ia pesan dan mengajak naik ke lantai dua. Di situlah terjadi transaksi antara klien dengan PSK.
Pembayaran sewa kamar pun langsung diberikan pada seorang sipir yang sempat curiga pada sang napi. Setelah transaksi pembayaran kamar selesai, sang napi menggandeng perempuannya masuk kamar seharga sekitar Rp 300 hingga Rp 400 ribu yang ternyata cukup nyaman. Merasa aman karena pintu kamar yang disewa dijaga oleh sipir penjara.
Pendekatan pun dilakukan keduanya. Saat kedekatan sudah dirasakan, cumbu rayu pun dilancarkan agar keintiman makin terasa nikmat. Waktu sewa kamar yang hanya setengah jam tidak mau disia-siakan sang napi.
Setelah waktu sewa kamar berakhir, PSK telah ditunggu oleh seorang wanita yang bertindak sebagai penghubung antara pihak penjara dan germo. Transaksi seks di dalam penjara itu pun tak mengenal waktu jam besuk pengunjung alias bisa diatur kapan saja.
Dengan demikian, berada di penjara tidak berarti memenjarakan kebutuhan biologis narapidana. Tetapi undang-undang di Indonesia belum mengakomodir kebutuhan biologis para napi, terutama yang sudah berkeluarga. Kebutuhan biologis yang tidak bisa tertahan membuat oknum di dalam penjara mengambil keuntungan, dengan membuat kamar khusus berhubungan intim pada napi dan pasangannya.
Kamar khusus tersebut tersembunyi di ruangan petugas lembaga pemasyarakatan. Dan bisnis tersebut ternyata sudah berlangsung lama. Semua bisa didapat dengan uang.
Sedangkan bagi narapidana yang tidak punya uang harus berpuas diri dengan cara lain. Melepas rindu mulai dari berbicara, berpegangan tangan, berpelukan, atau bahkan mencuri-curi kesempatan mencium pasangannya.
Beragam cara dilakukan para napi untuk memuaskan hasrat seksual mereka. Hal itu diakui para sipir penjara sebagai hal mengagumkan.
Kalau berhubungan dengan istri sah saja sudah mendapatkan masalah, para napi yang masih lajang tentulah ikut pening. Seorang wartawan yang pernah merasakan dinginnya lantai penjara, Ahmad Taufik, bercerita, semua bisa dibantu oleh kebaikan hati para sipir yang dibayar dengan sejumlah uang.
Dalam bukunya Penjara, Untold Stories, Taufik banyak berkisah tentang transaksi seks di penjara. Termasuk, pesta seks.
Fakta yang dibeberkan dalam buku penjara dibenarkan oleh mantan narapidana yang mengaku kerap melihat tahanan bisa keluar masuk sel bahkan keluar rumah tahanan (Rutan), agar bisa menyalurkan hasrat seksualnya. Semua bisa dilaksanakan dengan bantuan sipir atau petugas penjara yang telah dibayar bulanan oleh para napi atau biasa disebut sebagai bapak.
Tetapi terhadap adanya kamar khusus yang dibisniskan oleh oknum petugas rutan ditolak oleh Kepala Lapas Salemba, Jakarta. Namun jika ditemukan bukti transaksi seks di dalam penjara, Menteri Hukum dan HAM menyatakan mengambil langkah tegas.
Bantahan boleh saja dilakukan, tetapi penyelidikan independenlah yang sebenarnya harus dilakukan. Para mantan narapidana masih berharap agar pemerintah bisa mengakomodir permintaan yang bisa lebih me-manusiakan para narapidana.
Melihat kenyataan demikian, kokohnya dinding penjara ternyata tidak seseram yang dibayangkan. Keadaan tersebut juga termasuk perilaku seks yang menyimpang. Hal ini karena sulitnya narapidana untuk memenuhi kebutuhan biologisnya. Ditambah lagi belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang penyaluran kebutuhan biologis atau yang dikenal dengan istilah conjugal visit.
Di berbagai negara seperti Amerika Serikat, Australia, dan banyak negara lain, conjugal visit telah diakomodir. Ruangan khusus tersebut diberikan pada narapidana untuk menyalurkan kebutuhan biologis pada istri napi sebagai bagian dari hak asasi manusia.
Komnas HAM mengaku telah beberapa kali mendesak pemerintah agar memberikan hak tersebut pada para narapidana. Namun pihak Kementrian Hukum dan HAM menjelaskan, tengah mengkaji hal tersebut.(BJK/SHA)
http://berita.liputan6.com/read/303557/bisnis_seks_di_balik_jeruji_penjaraSemua seperti diasingkan di balik terali besi untuk membayar perbuatan yang dianggap melanggar hukum. Tidak ada ingar bingar seperti kehidupan di luar penjara. Semua hanya teralis besi, tembok, dan lantai yang dingin.
Salah satu hiburan bagi penghuni penjara adalah saat jam berkunjung, yakni kedatangan sanak keluarga, kerabat, atau kekasih. Saat membesuk, semua identitas pengunjung dicatat. Barang bawaan mereka yang dinilai mencurigakan dititipkan pada petugas. Tidak mau kecolongan, petugas lembaga pemasyarakatan memeriksa semua pengunjung dengan ketat.
Demi memuaskan rasa rindu dengan orang yang disayang, tahanan diberikan ruang tunggu. Bagi yang memiliki kekasih atau sudah menikah, ajang besuk digunakan semaksimal mungkin untuk bermesraan. Ada yang berpegangan tangan, berpelukan, berciuman, hingga bercumbu.
Semua memang bisa terjadi. Sekilas tidak ada yang berbeda dengan pertemuan suami dengan istrinya atau lelaki dengan kekasihnya. Namun setelah setelah disigi lebih jauh, ternyata tidak ada teman atau kerabatnya yang tengah ditahan di penjara. Dan dia adalah seorang gadun alias pekerja seks komersial (PSK).
Dari keterangan yang diperoleh, perempuan berparas molek itu mendapat panggilan khusus melayani seorang narapidana di sel penjara. Modus yang digunakan tergolong rapi dan terstruktur. Tak perlu menunggu lama, si klien yang notabene adalah napi menemui perempuan yang sudah ia pesan dan mengajak naik ke lantai dua. Di situlah terjadi transaksi antara klien dengan PSK.
Pembayaran sewa kamar pun langsung diberikan pada seorang sipir yang sempat curiga pada sang napi. Setelah transaksi pembayaran kamar selesai, sang napi menggandeng perempuannya masuk kamar seharga sekitar Rp 300 hingga Rp 400 ribu yang ternyata cukup nyaman. Merasa aman karena pintu kamar yang disewa dijaga oleh sipir penjara.
Pendekatan pun dilakukan keduanya. Saat kedekatan sudah dirasakan, cumbu rayu pun dilancarkan agar keintiman makin terasa nikmat. Waktu sewa kamar yang hanya setengah jam tidak mau disia-siakan sang napi.
Setelah waktu sewa kamar berakhir, PSK telah ditunggu oleh seorang wanita yang bertindak sebagai penghubung antara pihak penjara dan germo. Transaksi seks di dalam penjara itu pun tak mengenal waktu jam besuk pengunjung alias bisa diatur kapan saja.
Dengan demikian, berada di penjara tidak berarti memenjarakan kebutuhan biologis narapidana. Tetapi undang-undang di Indonesia belum mengakomodir kebutuhan biologis para napi, terutama yang sudah berkeluarga. Kebutuhan biologis yang tidak bisa tertahan membuat oknum di dalam penjara mengambil keuntungan, dengan membuat kamar khusus berhubungan intim pada napi dan pasangannya.
Kamar khusus tersebut tersembunyi di ruangan petugas lembaga pemasyarakatan. Dan bisnis tersebut ternyata sudah berlangsung lama. Semua bisa didapat dengan uang.
Sedangkan bagi narapidana yang tidak punya uang harus berpuas diri dengan cara lain. Melepas rindu mulai dari berbicara, berpegangan tangan, berpelukan, atau bahkan mencuri-curi kesempatan mencium pasangannya.
Beragam cara dilakukan para napi untuk memuaskan hasrat seksual mereka. Hal itu diakui para sipir penjara sebagai hal mengagumkan.
Kalau berhubungan dengan istri sah saja sudah mendapatkan masalah, para napi yang masih lajang tentulah ikut pening. Seorang wartawan yang pernah merasakan dinginnya lantai penjara, Ahmad Taufik, bercerita, semua bisa dibantu oleh kebaikan hati para sipir yang dibayar dengan sejumlah uang.
Dalam bukunya Penjara, Untold Stories, Taufik banyak berkisah tentang transaksi seks di penjara. Termasuk, pesta seks.
Fakta yang dibeberkan dalam buku penjara dibenarkan oleh mantan narapidana yang mengaku kerap melihat tahanan bisa keluar masuk sel bahkan keluar rumah tahanan (Rutan), agar bisa menyalurkan hasrat seksualnya. Semua bisa dilaksanakan dengan bantuan sipir atau petugas penjara yang telah dibayar bulanan oleh para napi atau biasa disebut sebagai bapak.
Tetapi terhadap adanya kamar khusus yang dibisniskan oleh oknum petugas rutan ditolak oleh Kepala Lapas Salemba, Jakarta. Namun jika ditemukan bukti transaksi seks di dalam penjara, Menteri Hukum dan HAM menyatakan mengambil langkah tegas.
Bantahan boleh saja dilakukan, tetapi penyelidikan independenlah yang sebenarnya harus dilakukan. Para mantan narapidana masih berharap agar pemerintah bisa mengakomodir permintaan yang bisa lebih me-manusiakan para narapidana.
Melihat kenyataan demikian, kokohnya dinding penjara ternyata tidak seseram yang dibayangkan. Keadaan tersebut juga termasuk perilaku seks yang menyimpang. Hal ini karena sulitnya narapidana untuk memenuhi kebutuhan biologisnya. Ditambah lagi belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang penyaluran kebutuhan biologis atau yang dikenal dengan istilah conjugal visit.
Di berbagai negara seperti Amerika Serikat, Australia, dan banyak negara lain, conjugal visit telah diakomodir. Ruangan khusus tersebut diberikan pada narapidana untuk menyalurkan kebutuhan biologis pada istri napi sebagai bagian dari hak asasi manusia.
Komnas HAM mengaku telah beberapa kali mendesak pemerintah agar memberikan hak tersebut pada para narapidana. Namun pihak Kementrian Hukum dan HAM menjelaskan, tengah mengkaji hal tersebut.(BJK/SHA)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar