Pada awal masuk ke Indonesia, komunitas punk memplesetkan perkataan “punk” itu sendiri dengan kepanjangan “pemuda urakan nan kreatif”. Komunitas punk dapat dikatakan berkembang di Indonesia. Dan ketika akses informasi mulai mudah didapat, mereka tidak segan-segan untuk menunjukkan eksistensinya.
Dahulu ada semacam pendapat bahwa mereka adalah preman jalanan. Namun, perlahan-lahan stigma yang berkembang di masyarakat itu adalah salah dan lambat laun komunitas punk mulai banyak dijumpai yang menurut saya tidak ada kontribusinya sama sekali.
Komunitas punk sering mengatas-namakan bahwa aktifitas dirinya atau kelompoknya merupakan perlawanan terhadap kultur budaya yang populer yang merupakan pilihan hidup, namun karena sikap dan perilaku mereka yang arogan dan urakan akhirnya masyarakat kurang peduli, tidak merespon bahkan tak jarang yang mencemooh.
Dengan kostum hitam-hitam, rambut mohawk, celana street dan sepatu bot merupakan aksesoris lazim yang biasanya dipakai oleh anak-anak punk. Dengan ditambah tampang serem dan kadang sedikit memaksa serta terkesan menakut-nakuti entah murni atau dibuat-buat, image yang terbentuk pada masyarakat semakin buruk.
Lucunya lagi, sering saya melihat anak-anak dengan gaya punk tetapi wajahnya terlihat ndeso dan dipoles dengan akesory punk dan tampang seremnya serta berbau alkohol yang sering terlihat ngamen di bis kota. Jika penumpang tidak memberikan uang, seringnya mengumpat dan terkesan tidak sopan, jadi semakin menyebalkan… apakah itu yang dinamakan eksistensi…?
Semenjak komunitas punk masuk di Indonesia, mereka kemudian berkembang pesat. diduga jumlah mereka sangat banyak karena hampir di tiap kota di Indonesia, mereka mempunyai pengikut. Di daerah-daerah misalnya, mereka banyak mengadopsi gaya punk dari Ibukota. Komunitas punk ini juga berkembang dari para kelas menengah karena akses informasi dengan mudah didapatkan di sana. Kemudian berkembang ke kelas menengah ke bawah karena di sanalah banyak dari mereka yang tertindas oleh kemajuan zaman.
Bisa jadi, inilah konsep awal dari distro-distro yang telah menjamur belakangan ini di kota-kota besar di Indonesia Latar belakang kehidupan punk yang bermacam-macam inilah yang membuat mereka ingin dipandang masyarakat sebagai komunitas yang unik.
Meski ada juga komunitas punk yang banyak sekali kontribusi lain yang diberikan mereka, seperti yang pernah saya baca di sebuah media, di Yogyakarta misalnya, mereka membersihkan kali atau mushala yang rutin mereka lakukan bahkan kelompok Taring Padi memberikan pelajaran Bahasa Inggris, les gambar, dan membuka perpustakaan umum dengan tujuan mendekatkan komunitas punk dengan masyarakat.
Namun seiring berjalannya waktu dan berkembangnya peradaban, tanpa disadari komunitas ini mulai membuka diri ke media. Padahal mereka awalnya tidak percaya dengan media karena tidak ada subyektivitas dalam pemberitaan yang melihat punk dari segi fashion saja.
Secara pribadi saya berharap dan ingin agar komunitas Punk tidak hanya menjadi sekadar budaya “fashion” belaka, tetapi memberi eksistensi serta dapat membuktikan kepada masyarakat bahwa dirinya/komunitasnya mampu meberikan kontribusi positif agar keberadaannya dapat diterima oleh masyarakat.
Uraian ini berdasarkan apa yang saya lihat dan pernah juga saya rasakan perlakuan anak punk ketika ngamen di bis kota. Jika ada sahabat dan pembaca kompasiana yang ingin menambahkan, dengan senang hati dipersilahkan.
Salam Kompasiana.
~Seperti biasa, ilustrasi gambar diambil dari Google~
http://sosbud.kompasiana.com/2011/03/30/keberadaan-anak-punk-dengan-segala-perilakunya/
Dahulu ada semacam pendapat bahwa mereka adalah preman jalanan. Namun, perlahan-lahan stigma yang berkembang di masyarakat itu adalah salah dan lambat laun komunitas punk mulai banyak dijumpai yang menurut saya tidak ada kontribusinya sama sekali.
Komunitas punk sering mengatas-namakan bahwa aktifitas dirinya atau kelompoknya merupakan perlawanan terhadap kultur budaya yang populer yang merupakan pilihan hidup, namun karena sikap dan perilaku mereka yang arogan dan urakan akhirnya masyarakat kurang peduli, tidak merespon bahkan tak jarang yang mencemooh.
Dengan kostum hitam-hitam, rambut mohawk, celana street dan sepatu bot merupakan aksesoris lazim yang biasanya dipakai oleh anak-anak punk. Dengan ditambah tampang serem dan kadang sedikit memaksa serta terkesan menakut-nakuti entah murni atau dibuat-buat, image yang terbentuk pada masyarakat semakin buruk.
Lucunya lagi, sering saya melihat anak-anak dengan gaya punk tetapi wajahnya terlihat ndeso dan dipoles dengan akesory punk dan tampang seremnya serta berbau alkohol yang sering terlihat ngamen di bis kota. Jika penumpang tidak memberikan uang, seringnya mengumpat dan terkesan tidak sopan, jadi semakin menyebalkan… apakah itu yang dinamakan eksistensi…?
Semenjak komunitas punk masuk di Indonesia, mereka kemudian berkembang pesat. diduga jumlah mereka sangat banyak karena hampir di tiap kota di Indonesia, mereka mempunyai pengikut. Di daerah-daerah misalnya, mereka banyak mengadopsi gaya punk dari Ibukota. Komunitas punk ini juga berkembang dari para kelas menengah karena akses informasi dengan mudah didapatkan di sana. Kemudian berkembang ke kelas menengah ke bawah karena di sanalah banyak dari mereka yang tertindas oleh kemajuan zaman.
Bisa jadi, inilah konsep awal dari distro-distro yang telah menjamur belakangan ini di kota-kota besar di Indonesia Latar belakang kehidupan punk yang bermacam-macam inilah yang membuat mereka ingin dipandang masyarakat sebagai komunitas yang unik.
Meski ada juga komunitas punk yang banyak sekali kontribusi lain yang diberikan mereka, seperti yang pernah saya baca di sebuah media, di Yogyakarta misalnya, mereka membersihkan kali atau mushala yang rutin mereka lakukan bahkan kelompok Taring Padi memberikan pelajaran Bahasa Inggris, les gambar, dan membuka perpustakaan umum dengan tujuan mendekatkan komunitas punk dengan masyarakat.
Namun seiring berjalannya waktu dan berkembangnya peradaban, tanpa disadari komunitas ini mulai membuka diri ke media. Padahal mereka awalnya tidak percaya dengan media karena tidak ada subyektivitas dalam pemberitaan yang melihat punk dari segi fashion saja.
Secara pribadi saya berharap dan ingin agar komunitas Punk tidak hanya menjadi sekadar budaya “fashion” belaka, tetapi memberi eksistensi serta dapat membuktikan kepada masyarakat bahwa dirinya/komunitasnya mampu meberikan kontribusi positif agar keberadaannya dapat diterima oleh masyarakat.
Uraian ini berdasarkan apa yang saya lihat dan pernah juga saya rasakan perlakuan anak punk ketika ngamen di bis kota. Jika ada sahabat dan pembaca kompasiana yang ingin menambahkan, dengan senang hati dipersilahkan.
Salam Kompasiana.
~Seperti biasa, ilustrasi gambar diambil dari Google~
http://sosbud.kompasiana.com/2011/03/30/keberadaan-anak-punk-dengan-segala-perilakunya/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar