Senin, 13 Juni 2011

Pak Presiden, Terbanglah Bersama CN 235


Dibungkus kata 'mendesak', Pemerintah merengek agar DPR menggolkan anggaran bencana yang mencapai 3,37 triliun rupiah. Di balik anggaran itu, rupanya disisipkan anggaran untuk berbagai proyek serba mewah.

Salah satunya, pengadaaan pesawat untuk orang yang sangat sangat penting atau VVIP. Yaitu pesawat jenis Boeing 737-400 seharga 800-an miliar rupiah sebagai pesawat kepresidenan.

Presiden Korea Selatan
Mengapa pilih Boeing buatan Amerika ketimbang CN 235 produksi dalam negeri? Padahal, Korea Selatan saja menggunakan pesawat buatan PT Dirgantara Indonesia sebagai pesawat kepresidenan. Reporter KBR68H Suryawijayanti mengintip ke bengkel PT DI, melihat proses pembuatan pesawat ini.

Tahukah Anda jika para kepala negara di Pakistan, Malaysia, Korea Selatan, serta Uni Emirat Arab terbang menggunakan pesawat buatan Indonesia? Nama pesawatnya, CN 235.

Apa hebatnya pesawat CN 235 ini? Juru bicara PT Dirgantara Indonesia, Rakhendi mengajak Reporter KBR68H Suryawijayanti melihat proses pembuatan pesawat yang sudah terjual 55 buah ini.

Rakhendi: CN 235 itu didesain oleh insinyur Indonesia dan Spanyol. Yang kuning diproduksi PT DI, yang hijau Spanyol, yang merah dibuat masing-masing. Tapi 4-5 tahun ini yang merah dibuat oleh kita semua, rencananya 2010-2011, hijau kita yang buat. Nah nanti semua kita yang bikin."

Bikin sayap Air Bus
Di lahan seluas 80an hektar inilah, berdiri pabrik pesawat terbang PT Dirgantara Indonesia. Lokasinya berdekatan dengan Bandara Husein Sastranegara, Bandung, Jawa Barat. Pabrik yang dulunya bernama Industri Pesawat Terbang Nusantara atau IPTN itu berdiri sejak 1976.

Rakhendi lantas memperlihatkan ruang produksi sayap pesawat Jumbo Air Bus 230. Pesawat ini adalah buatan konsorsium sejumlah negara, di antaranya Inggris. Indonesia memang belum mampu membuat pesawat berkapasitas 300-an penumpang ini. Namun PT Dirgantara Indonesia punya kontribusi di badan pesawat. Sayap kiri dan kanan Air Bus adalah buatan PT DI.

Dari pabrik pembuatan sayap pesawat, perjalanan berlanjut menuju ke pabrik pesawat CN 235.

180 miliar rupiah
Korea Selatan hingga saat ini sudah mengkoleksi delapan CN 235. Tak hanya Korea yang ketagihan, sejumlah negara juga membeli pesawat seharga 180 milyar rupiah ini.

Rakhendi: "Kita sudah pasarkan 55 pesawat, 15 Merpati, 9 Angkatan Udara, 8 Malaysia, 8 Korsel, 4 Pakistan, 7 UAE, 2 Thailand, 1 Filipina, 1 Brunei Darusallam. Jarak tempuhnya pesawat ini bisa terbang 6-8 jam, jadi kalo dari Jakarta-Surabaya bolak balik bisa."

Kalo antar negara?

Rakhendi: "Kalau di kawasan ASEAN bisa. Di luar itu, harus singgah di beberapa tempat. Seperti pas kita kirim ke Korea itu, kita singgah di beberapa tempat, bayangin saja di Korea itu dilapisi emas untuk pesawat Kepresidenan. Kalo di Pakistan 1, Malaysia 2, UAE 1."

Ironisnya, pemerintah justru tak melirik pesawat CN 235 sebagai pesawat kepresidenan. Pemerintah lebih memilih mendatangkan pesawat Boeing buatan Amerika, yang uang mukanya saja bisa untuk membeli satu pesawat CN 235. Itu pun masih sisa.

Mensekneg
Untuk pertama kalinya sejak menjabat Menteri Sekretaris Negara, awal Februari lalu Sudi Silalahi menggelar konperensi pers di Kantor Kepresidenan. Pejabat irit bicara itu gerah dengan ramainya pemberitaan yang menyerang Istana. Salah satunya soal rencana pembelian pesawat Kepresidenan jenis Boeing 737-400.

Sudi Silalahi: "Indonesia itu negara besar, hanya kita yang tak punya pesawat kepresidenan. Jadi andaikata itu terwujud, Presiden sekarang ini hanya bisa menikmati dua tahun. Presiden yang akan datang dimudahkan."

Toh, tak semua negara punya pesawat kepresidenan. Perdana Menteri Singapura memilih untuk menumpang pesawat komersil, ketimbang membeli pesawat pribadi. Perdana Menteri Lee Hsien Loong bahkan rela mengantri untuk check-in di bandara, saat mengikuti pertemuan antara pemimpin ASEAN di Korea Selatan. Alasannya sederhana. Kata Lee, sebagai pejabat pemerintah, ia harus memberi contoh kepada rakyatnya.

Anggaran bencana
Di hadapan DPR November 2009, Menteri Keuangan Sri Mulyani meminta agar parlemen meloloskan usulan itu. Dananya diambil dari mata anggaran pos bencana yang jumlahnya lebih dari 3 triliun rupiah.

Sri Mulyani: "Kalau soal anggaran, itu kan diajukan oleh Sekneg, ke kami, lalu dibahas ke Komisi DPR. Kalau waktunya mepet kami sampaikan di Panggar. Lalu eksekusinya di Sekneg. Gak usah saling lepas tangan. Dan bingung dan ketakutan. Proses anggaran itu kan berdasarkan UUD. DPR menyetujui, kalau gak setuju ya gak usah. Tapi jangan sampai disetujui lalu dimasalahkan."

Anggota Badan Anggaran DPR Yasonna Laoly mengakui Parlemen menyetujui keinginan pemerintah membeli pesawat. Ia beralasan, tingginya angka kecelakaan pesawat di Indonesia jadi pertimbangan agar Presiden menggunakan pesawat pribadi.

Yasonna Laoli: "Banyak sekali pesawat yang jatuh, milik domestik, milik tentara. Bisa saja kejadian ini terjadi kepada presiden. Kalau terjadi, ini memalukan. Ini bisa dihindari kalau presiden punya pesawat sendiri, walaupun dengan biaya perawatan yang mahal ..., yah ini bisa dipahamilah ..."

Dalam hitungan pemerintah, membeli pesawat Kepresidenan diyakini lebih menghemat anggaran. Menteri Sekretaris Negara, Sudi Silalahi menghitung, 100 milyar rupiah uang negara bisa diselamatkan jika Presiden memiliki burung besi sendiri.

Menurut dia, selama ini anggaran sewa pesawat untuk lawatan dinas Presiden terus melonjak. Pada 2009, anggaran mencapai 180 miliar. Artinya, naik 5 miliar dari tahun sebelumnya. Jika biaya sewa pesawat selama 5 tahun ditotal, itu sudah cukup untuk membel pesawat terbang Kepresidenan pribadi.

Sudi Silalahi: "Kami sudah hitung secara matang. Kalau sewa pesawat setahun untuk presiden dan wapres jumlahnya Rp 180 miliar. Jadi lima tahun Rp 900 miliar. Kalau kita beli, harga eksaknya US$ 85,4 juta, sekitar Rp 800 miliar. Jadi selisih Rp 100 miliar. Jadi kalau kita sewa maka biayanya adalah Rp 900 miliar dan kita tetap tidak punya pesawat. Sedangkan jika membelinya dengan mencicil selama lima tahun, maka duit akan hemat Rp 100 miliar dan pesawat milik kita."

Hitung-hitungan Sudi Silalahi sepertinya belum mempertimbangkan biaya perawatan pesawat dan ongkos operasional lainnya. Menteri Sekretaris Negara periode sebelumnya, Yusril Ihza Mahendra, sudah menutup peluang pembelian pesawat Kepresidenan. Menurut Yusril, ongkosnya terlalu besar. Sebab pemerintah juga harus menyiapkan biaya operasional. Besarnya mencapai 8 juta dollar Amerika, atau sekitar 80 miliar rupiah. Artinya, bukan penghematan yang didapat, tapi justru tekor.

Pengadaan pesawat besar ini juga dipertanyakan manfaatnya. Pesawat Boeing 737-400 yang berbadan besar dan panjang tak akan cocok jika dibawa Presiden mengunjungi wilayah-wilayah terpencil. Karenanya, menurut Rakhendi, pilihan yang tepat justru pesawat buatan negeri sendiri.

Sayangnya, pemerintah tak tertarik membeli CN 235 sebagai pesawat kepresidenan. Padahal kata Juru Bicara, PT Dirgantara Indonesia, Rakhendi, Presiden sudah ditawari untuk memakai produk dalam negeri ini.

Rakhendi: "Kalo nanti bapak Presiden, untuk kunjungan ke pulau-pulau bisa dipertimbangkan CN 235, karena Korea, Malaysia, Uni Emirat Arab sudah pakai pesawat VIP ini."

Boeing tetap dibeli. Tahun depan, pesawat ini akan mulai digunakan.

Harga 1 pesawat CN 235 hanya 180 miliar rupiah. Dengan uang muka 200 miliar rupiah untuk membeli pesawat jenis Boeing 737-400, pemerintah bisa menghemat 20 miliar rupiah. Itu belum termasuk harga perawatan pesawat buatan Amerika itu yang diperkirakan menyedot anggaran hingga 800an miliar rupiah.

Uang 800 miliar rupiah, jika dibelikan beras seharga 5 ribu rupiah per kilogram, ada 1,6 juta rakyat Indonesia yang bisa makan.

Klik tanda segitiga di bawah ini, untuk mendengarkan laporan selengkapnya:

http://www.rnw.nl/bahasa-indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar